Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama lokasi investasi industri otomotif raksasa dunia sekaligus pasar terbesar. Indonesia berpeluang seperti negara lain untuk berhasil dalam peluang mobil listrik. Komponen termahal kendaraan listrik adalah baterai litium penyimpanan listrik yang bahan bakunya adalah nikel, dan Indonesia pemilik deposit nikel laterit terbesar dunia berkualitas tinggi. Dengan kekayaan produksi nikel tersebut dan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah, suatu peluang besar bagi Indonesia untuk memahat sejarah membawa masa depan yang gemilang seperti pada era tahun 1870. Namun bagaimana untuk memastikan keberhasilan tersebut?
Indonesia pernah menjadi tempat industri canggih di Asia, bahkan Jepang dan Korea Selatan yang kini menjadi raksasa industri bukanlah tandingan. Jawa Tengah dan Jawa Timur jadi pusat produksi gula dunia yang sangat modern. Sayangnya, periode kemajuan itu terjadi pada era penjajahan Belanda sekitar 1870 dan kemudian surut karena tak mampu bertransformasi. Beberapa pabrik gula yang berusia seabad, kini bahkan masih beroperasi tanpa perubahan teknologi signifikan.
Sejarah masygul ”kegagalan” industri kedua terjadi kembali pada masa Orde Baru hingga sekarang, terutama di sektor otomotif. Di Asia Tenggara, Indonesia negara pertama lokasi investasi industri otomotif raksasa dunia sekaligus pasar terbesar. Namun, julukan ”Detroit Asia” justru dimiliki Thailand sebagai produsen sekitar dua juta mobil per tahun, sebagian besar diekspor. Indonesia hanya mampu berproduksi separuhnya dan itu pun sebagian besar dikonsumsi domestik.
Dibandingkan dengan Thailand, industri otomotif Indonesia lebih sebagai ”tukang rakit” karena banyaknya komponen diimpor. Sebaliknya, Thailand mampu memproduksi komponen otomotif sendiri sehingga mampu mengoptimalkan multiplier effect ekonomi dan menyerap tenaga kerja berkeahlian menengah dan tinggi. Wan- Ping Tai secara gamblang menyimpulkan, industri otomotif Indonesia ”having market
without technology” , ”memiliki industri namun tanpa industrialisasi”.
Problem menjadi peluang
Belajar dari kegagalan dua periode missed opportunies, masih bisakah Indonesia bertransformasi menjadi negara industri maju? Untunglah derak roda sejarah tak berhenti. Bukan hanya bisa, Indonesia kini bahkan memiliki peluang emas.
Berdasarkan analisis kompleksitas ekonomi, impor terbesar Indonesia adalah BBM yang mencapai 14 persen dari total impor. Minyak biang kerok defisit perdagangan dan akan terus memburuk bila tanpa perubahan. Indonesia makin ”haus minyak” karena dalam setahun sekitar sejuta mobil plus enam juta sepeda motor baru mengaspal, dan jumlah ini akan terus bertambah. Parahnya lagi, sumur minyak kita kian tua dan kurang produktif. Selain defisit perdagangan menggunung, emisi pembakaran BBM merupakan pencemar udara terbesar yang menyebabkan kualitas kesehatan dan lingkungan memburuk.
Problem defisit perdagangan minyak dan pencemaran emisi, ini justru menjadi peluang membangun industri kendaraan listrik sebagai solusi. Kendaraan dengan mesin pembakaran (combustion engine) minyak juga sudah memiliki masa depan suram karena akan dilarang di berbagai tempat. Dua tahun lagi, Kosta Rika adalah negara pertama di dunia yang melarang total semua kendaraan dengan combustion engine. Norwegia menyusul 2025 dengan melarang penjualan kendaraan baru berbahan bakar dari fosil. Secara serempak India, Belanda, Denmark, Irlandia, Israel, Swedia, dan lain-lain akan menyusul 2030 dan raksasa ekonomi China serta Inggris mengikuti 2040.
Bukan hanya karena larangan kendaraan combustion engine, masa depan mobil listrik sebenarnya juga sangat cerah karena kian kompetitif. Dari riset di lima negara Eropa, penggunaan mobil listrik kini lebih murah 5-27 persen. Kalkulasi mobil listrik itu dengan membandingkan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian kendaraan, energi dan pajak yang disetarakan dengan mobil bensin, diesel dan hibrida yang digunakan selama empat tahun.
Ke depan, kendaraan listrik juga akan kian murah dengan produksi massal dan inovasi. Dengan asumsi moderat 35 persen penjualan adalah mobil listrik di 2030, ini akan ciptakan 200.000 peluang kerja baru di Eropa.
Transformasi industri dan Teknologi
Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang tak dimiliki negara lain untuk mengembangkan kendaraan listrik. Komponen termahal kendaraan listrik adalah baterai litium penyimpan listrik yang bahan baku utamanya nikel. Indonesia pemilik deposit nikel laterit terbesar dunia yang berkualitas tinggi. Dengan gigafactory yang di antaranya kini dibangun di Morowali, Indonesia akan jadi penyuplai dunia yang segera ”haus” baterai listrik.
Dengan baterai listrik dari dalam negeri tanpa impor, biaya produksi kendaraan listrik akan bisa lebih murah. Ini berarti Indonesia berpotensi naik kelas bukan hanya menjadi ”jago kandang”, tetapi bertarung memperebutkan pasar otomotif dunia yang mencapai Rp 8.000 triliun tahun 2025. Diproyeksikan 220 juta mobil listrik akan mengaspal pada 2030 dan mencapai 2 miliar unit pada 2035-2040, terutama ketika tindakan mengatasi emisi dan perubahan iklim makin agresif.
Selain itu, pasar domestik juga cukup menggiurkan. Jika dijual dengan harga Rp 200 juta-Rp 300 juta untuk segmen menengah, target pangsa penjualan mobil listrik 20 persen tahun 2025 akan mudah dicapai. Nilai pasar itu artinya paling tidak Rp 64 triliun-Rp 96 triliun dan akan terus membesar. Dengan kebijakan dan regulasi tepat, pangsa penjualan 30 persen seharusnya bisa dicapai.
Indonesia berpeluang seperti negara lain untuk berhasil dalam mobil listrik karena teknologinya belum semapan combustion engine. Aturan tentang kendaraan listrik saat ini sedang disusun. Mengingat strategisnya Indonesia, para pemain otomotif kelas dunia dari sejumlah negara yang segera berinvestasi produksi mobil listrik, kini sedang menunggu. Berangkat dari pengalaman sejarah kegagalan, ”industry without industrialization” harus dihindari. Artinya, aturan itu mesti mendorong kemajuan industri domestik, memfasilitasi alih teknologi, dan menggunakan komponen dalam negeri.
Sebagai contoh, China mewajibkan penggunaan baterai produksi domestik untuk produksi kendaraan listrik mereka. Indonesia perlu mempertimbangkan hal-hal semacam itu. Jika ada komponen yang belum bisa dibuat domestik, perlu dibuat tenggat ketat memastikan itu akan terjadi dan menguatkan riset dengan melibatkan perguruan tinggi. Investasi asing harus jadi bagian dari strategi besar transformasi industri dan teknologi. Technology-less industrialization biarlah hanya menjadi sejarah, tidak perlu diulang lagi.
EBT dan tol listrik
Seperti memiliki ponsel, memiliki kendaraan listrik artinya akan mengisi (charging) baterai malam hari di rumah dan menggunakan kendaraan hari selanjutnya. Jika kendaraan yang dimiliki adalah mobil listrik, kebutuhan minimum daya listrik rumah 2.200 watt atau idealnya di atas 4.400 watt. Daya sebesar itu diperlukan agar kebutuhan listrik berbagai perangkat lain di rumah tidak terganggu, ketika charging baterai mobil.
Jika kendaraan listrik berkembang, kebutuhan listrik akan melonjak signifikan dan Indonesia akan segera mengalami kelangkaan listrik. Ini berarti, produksi listrik perlu dinaikkan secara cepat. Mengingat kendaraan listrik juga ditujukan mengurangi emisi, sangat ironis apabila pembangkit listrik dihasilkan dari pencemar emisi. Oleh karena itu, produsen listrik yang mesti didorong adalah berasal dari energi baru terbarukan (EBT) dan ini sejalan dengan arah pembangunan rendah karbon (PRK) yang dicanangkan Bappenas.
Indonesia sangat kaya dengan sumber EBT dan potensinya sangat besar, misalnya dari tenaga surya, air, angin, panas bumi, biomassa dan laut. Saat ini pembangkit listrik Indonesia memproduksi 64,2 gigawatt dan potensi listrik dari EBT setidaknya 7 kali lipat dari jumlah tersebut. Potensi 442 gigawatt dari EBT adalah peluang ekonomi energi yang sangat dahsyat dan kini yang dikembangkan baru 2,5 persen.
Di samping menggenjot ketersediaan listrik, Indonesia juga perlu mengupayakan terjadinya ”pemerataan listrik”, yaitu semua pulau mendapat keandalan dan pasokan listrik setara. Seperti diketahui, Jawa memiliki pasokan listrik sering berlebih, tetapi pulau-pulau lain justru banyak yang kekurangan. Jika kebutuhan listrik untuk kebutuhan konvensional saja belum memadai, lalu bagaimana bila ditambahkan kebutuhan mobil listrik?
Setelah Indonesia memiliki tol darat, tol laut, dan tol udara, kini saatnya negeri ini memiliki ”tol listrik”. Yang dimaksud dengan ”tol listrik” adalah jaringan listrik yang tak terputus menghubungkan Indonesia. Koneksi listrik antarpulau sangat dimungkinkan dengan menghubungkan pulau melalui kabel listrik bawah laut (submarine power cable). Kabel laut sudah Indonesia miliki untuk mengatasi digital divide yang menghubungkan antarpulau melalui proyek Palapa Ring, jika dijumlahkan panjang kabel laut serat optik mencapai 35.000 kilometer.
Penggunaan kabel listrik bawah laut juga sudah jamak digunakan di dunia, salah satu yang terpanjang menghubungkan Belanda dan Norwegia, mencapai 580 kilometer atau separuh lebih Pulau Jawa. Dibandingkan dengan menarik kabel tegangan tinggi di darat yang harus membangun menara-menara, menarik kabel di laut prosesnya lebih cepat.
Tol listrik yang diinisiasi pemerintah masih sebatas lintas Pulau Sumatera, tetapi belum dengan visi besar menghubungkan Indonesia. Visi itu perlu diperluas, tentunya dengan prioritas menghubungkan pulau besar, padat penghuni atau urgensi. Pada akhirnya, bukan hanya untuk mobil listrik, ketersediaan listrik juga akan memicu bangkitnya industri atau produktivitas daerah yang kurang bisa berkembang karena terbatasnya pasokan energi.
Listrik ”co-creation” dan prosumen
Tol listrik akan menghubungkan seluruh konsumen listrik di seluruh Indonesia dengan keandalan yang sama. Tol listrik juga harus disambungkan dengan seluruh pemasok (on grid) listrik, baik produsen listrik skala besar, menengah, kecil atau bahkan skala rumahan. Artinya, kebutuhan listrik yang terkoneksi di seluruh Indonesia akan dipasok secara ”gotong royong” seluruh produsen energi di Tanah Air.
Tol listrik memfasilitasi keadilan energi di Indonesia dan sekaligus peluang bisnis energi yang dahsyat melalui paradigma listrik co-creation. Perusahaan Listrik Negara (PLN) tak perlu khawatir tersaingi atau bisnisnya tergerus. Fokus menjadi distributor tunggal listrik se-Indonesia yang efisien, hanya dengan margin tipis, tetapi volume raksasa justru berpotensi membuat BUMN ini paling profitable.
Problem lain yang dikhawatirkan dengan pengembangan kendaraan listrik adalah ketersediaan ”SPBU listrik” yang masih sangat minim. Di samping ”SPBU listrik” terus ditambah, jalan lain bisa dilakukan dengan mewajibkan minimal space tertentu tempat parkir indoor atau outdoor untuk tempat charging kendaraan listrik. Ini adalah bisnis baru, di Eropa Barat fasilitas seperti ini makin banyak.
Selain itu, bagi rumah yang punya halaman luas tertentu dan memenuhi syarat, juga diizinkan menyediakan tempat charging kendaraan listrik. Ini semacam penjual bensin eceran, yaitu ”penjual listrik eceran” atau ”SPBU listrik rumahan”. Seperti di tempat parkir, yang dibutuhkan sederhana, yaitu hanya colokan fast charging, meteran listrik dan fasilitas pembayaran dengan e-money atau fintech yang dihubungkan dengan PLN.
Di skala rumahan dengan panel surya atap, setiap warga bisa mengisi kendaraan listrik dari produksi listrik sendiri. Atau bila berlebih, bisa dijual ke PLN. Bila lebih mau repot lagi dan berbisnis, mereka bisa ”mengecer listrik” dan diatur PLN. Inilah era prosumen, warga sekaligus menjadi produsen dan konsumen listrik secara bersamaan.
Lalu, jika potensi EBT didayagunakan optimal apakah akan terjadi kelebihan pasok energi listrik? Indonesia masih sangat jauh dengan hal itu. Konsumsi listrik Indonesia kini baru 1.048 kWh per kapita. Tak perlu dibandingkan dengan negara maju. Konsumsi Malaysia dan China sudah empat kali lipat lebih, belum lagi bila mobil listrik digunakan. Selain itu, pada akhirnya nanti kompor gas perlu diganti dengan kompor listrik, tetapi prioritas sekarang pada kendaraan listrik karena besarnya defisit perdagangan dan pencemaran lingkungan.
Memastikan keberhasilan
Potensi industri kendaraan listrik dan bisnis energi listrik dari EBT sangatlah gemilang. Sektor ini berpotensi jadi lompatan besar Indonesia menjadi negara maju, menyerap green jobs secara masif dan keluar dari perangkap pendapatan menengah. Bagaimana memastikan agar hal itu terjadi?
Dari pengalaman penulis menjadi partner bekerja pemerintah, untuk memastikan keberhasilan hal raksasa itu diperlukan komitmen kuat presiden. Persoalan lintas kementerian pasti akan terjadi dan presiden adalah kunci mengatasi persoalan. Tanpa determinasi presiden maka regulasi, egosektoral atau kepentingan antar-kementerian akan menyebabkan persoalan berlarut-larut. Terkait hal ini, Bappenas berperan merancang sinergi dan menentukan arah, kebijakan, strategi, target dan timeline yang rigid lintas kementerian dan lembaga.
Hal menentukan lainnya adalah pentingnya memilih menteri yang punya visi kuat, bersih, memiliki komitmen dan determinasi tinggi. Ini sangat penting karena akan menggerakkan jajaran hingga tingkat bawah, serta bertahan dari godaan dan tekanan besar dari kepentingan terganggu yang bernilai ratusan triliun. Menteri yang paling terkait dalam hal ini adalah menteri industri serta ESDM. Kerja sama dan integritas dua menteri ini akan menentukan keberhasilan.
Selain itu, Kantor Staf Presiden (KSP) sangat diperlukan untuk memonitor kemajuan program prioritas dan menjadi problem solver jika diperlukan, terutama apabila ada masalah lintas kementerian. Visi dari tulisan ini jelas, langkah dan gambarannya juga operasional. Telah cukup kegagalan industri dua kali, mari memahat sejarah membawa masa depan Indonesia gemilang. Mari keluar dari zona nyaman, jalan sulit dan terjal haruslah ditempuh.
“Lompatan Besar Industri dan Energi” dari Setyo Budiantoro, Ahli Ekonomi Pembangunan Perkumpulan Prakarsa, dimuat di Koran Kompas Kamis, 13 Juni 2019.