Yogyakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA menjadi salah satu panelis dalam diskusi publik yang membahas kebijakan kepabeanan dan perpajakan yang inklusif dan berkeadilan. Bertempat di Grand Keisha, Yogyakarta. Pada Selasa (14/5/2024). Acara ini dihadiri oleh narasumber dari berbagai organisasi masyarakat sipil, termasuk pemerintah, dan sektor swasta.
Diskusi kali ini dimaksudkan untuk mendorong adanya kebijakan perpajakan, khususnya terkait bea masuk, yang memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas dan pekerja migran. Termasuk juga kebijakan transfer teknologi dari negara-negara tetangga yang memproduksi perangkat dan teknologi pendukung, khususnya bagi individu penyandang disabilitas. Selain itu diskusi ini juga dimaksudkan untuk memastikan pelaksanaan Pasal 9 dan Pasal 20 CRPD, peran negara dalam memberikan aksesibilitas dan akses terhadap alat bantu dan teknologi memfasilitasi peningkatan kualitas hidup dengan peningkatan mobilitas bagi penyandang disabilitas
Diskusi ini merupakan bagian dari inisiatif yang lebih luas untuk memasukkan permasalahan pajak atas assistive devices ke dalam kategori pajak yang berkeadilan. Risnawati Utami dari Perkumpulan OHANA menyoroti situasi penyandang disabilitas di Indonesia, yang masih menghadapi berbagai tantangan. “Kurangnya alat bantu yang adaptif untuk mobilitas, berkomunikasi, membaca, dan menulis, serta ketersediaan alat bantu di pasaran Indonesia yang terbatas,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa “kurangnya investasi dalam Assistive Technology bagi penyandang disabilitas,” menjadi salah satu hambatan utama dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.
Sementara itu, Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia, menekankan pentingnya mempermudah proses impor alat bantu bagi penyandang disabilitas. “Kita harus memastikan bahwa proses impor assistive devices tidak menjadi hambatan bagi mereka yang membutuhkan,” ujar Yustinus. Ia menambahkan bahwa pemerintah sedang berupaya untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan dalam hal perpajakan dan kepabeanan.
Para peserta diskusi sepakat bahwa kebijakan pajak dan beacukai untuk disabilitas memerlukan investasi dan regulasi yang jelas. Selain itu, keterlibatan sektor swasta dan kolaborasi antar lembaga juga dianggap penting untuk mencapai tujuan ini. “Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung aksesibilitas bagi penyandang disabilitas,” kata Samira Hanim, Peneliti The PRAKARSA.
Rencana tindak lanjut dari diskusi ini meliputi beberapa langkah konkret. Pertama, akan diadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk mendalami isu-isu yang telah dibahas. Kedua, pengumpulan data terkait kebutuhan alat bantu akan dilakukan untuk memahami lebih baik kebutuhan di lapangan. Ketiga, pembuatan Policy Brief yang akan disusun berdasarkan temuan dari diskusi dan data yang terkumpul. Terakhir, korespondensi untuk audiensi dengan Kementerian Keuangan akan dilakukan untuk menyampaikan hasil dan rekomendasi dari diskusi ini.
Policy Brief yang akan disusun nantinya akan mencakup berbagai tema penting. Pertama, permasalahan sistemik yang menghambat aksesibilitas alat bantu bagi penyandang disabilitas. Kedua, insentif teknologi yang dapat diberikan untuk mendorong inovasi dalam pembuatan alat bantu. Ketiga, manfaat alat bantu bagi penyandang disabilitas dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Keempat, rekomendasi untuk pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan. Terakhir, contoh pengalaman Organisasi Penyandang Disabilitas (OPDis) dalam mendorong ketersediaan alat bantu akan disertakan sebagai studi kasus.
“Kami berharap Policy Brief ini dapat menjadi panduan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan,” kata Samira Hanim. Ia juga menekankan bahwa akses terhadap alat bantu bagi penyandang disabilitas adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara.
Dengan adanya diskusi dan rencana tindak lanjut ini, diharapkan akses terhadap alat bantu bagi penyandang disabilitas dapat semakin mudah dan terjangkau. Hal ini diharapkan dapat membantu mereka menjadi lebih mandiri dan produktif dalam kehidupan sehari-hari. “Kami optimis bahwa dengan kerja sama yang baik antara semua pihak, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan berkeadilan bagi penyandang disabilitas,” tutup Yustinus Prastowo.
Diskusi ini menandai langkah awal yang penting dalam upaya menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan di Indonesia. Dengan komitmen dan kolaborasi yang kuat, diharapkan perubahan positif dapat segera terwujud.