Melihat Masalah Perumahan Layak di Tengah Perubahan Iklim Melalui Pendekatan Multidimensi

Kelompok Kerja Sustainable Development Goals (SDGs) and Humanitarian C20 adakan diskusi publik di sela pertemuan C20 Summit di Bali (5/10/2022)

Kelompok Kerja Sustainable Development Goals (SDGs) and Humanitarian C20 menyoroti isu perumahan ditengah krisis iklim dalam pertemuan side event C20 Summit di Hilton Resort Nusa Dua, Bali. Rabu (5/10/2022). Pertemuan ini mengangkat tema “Resilient Housing Amid Climate Change Phenomena (Perumahan Tangguh di Tengah Fenomena Perubahan Iklim)” dengan menghadirkan pembicara diantaranya Rebecca Ochong dari Habitat for Humanity International, Andreas Hapsoro dari Habitat for Humanity Indonesia, dan Eka Afrina Djamhari dari The PRAKARSA. 

Rebecca pada kesempatan ini membicarakan terkait akses perumahan yang merata untuk semua. Ia menyebutkan bahwa terdapat sekitar 1 miliar populasi manusia di dunia tinggal di perumahan tidak layak dan kumuh. Hal ini berimbas pada stigma yang menggap keberadaan populasi ini kurang penting dari yang lain. 

“Selain itu kondisi ini mengakibatkan mereka susah untuk mengakses layanan dasar seperti air bersih dan sanitasi. Populasi ini juga tidak memiliki hak atas tanah dan menjadi populasi yang paling rentan terhadap perubahan iklim,” kata Rebecca. 

PBB memproyeksikan jumlah populasi yang tinggal di daerah kumuh akan terus bertambah dari 1 miliar menjadi 3 miliar pada tahun 2050. “Hampir 90% dari peningkatan ini adalah di Asia Selatan dan Afrika. Untuk itu penting untuk mendorong kebijakan akses yang adil untuk mendapatkan perumahan yang layak,” ujar Rebecca. 

Sementara itu Andreas Hapsoro menambahkan, untuk dapat membantu populasi yang rentan terhadap perubahan iklim karena menempati perumahan yang tidak layak, dibutuhkan komitmen untuk menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam memahami dampak perubahan iklim terhadap kehidupan mereka. 

“Komitmen untuk memperkuat keahlian teknis dalam menggunakan pendekatan, alat, dan proses yang mengarah pada strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan mengintegrasikan dalam program, operasi, dan dukungan melalui pembangunan rumah dan renovasi, kesiapsiagaan dan ketahanan bencana, respons dan pemulihan bencana, keterlibatan relawan, pendidikan masyarakat, advokasi, dan pengembangan pasar perumahan,” jelas Andreas.

Eka Afrina Djamhari (Manajer Riset dan Pengetahuan The PRAKARSA) bersama Darmawan Prasetya (The PRAKARSA)

Sedangkan dalam konteks Indonesia, Eka Afrina menyebutkan hanya 20 persen rumah tangga terkaya yang mampu membeli perumahan di pasar formal, 40 persen kelas menengah tidak mampu membeli perumahan formal (rumah dengan nilai 140–300 juta rupiah) tanpa subsidi pemerintah, dan 40 persen terbawah tidak memiliki akses ke perumahan formal. “Sehingga 40 persen terbawah membangun rumah mereka sendiri dan memperbaikinya secara bertahap dari waktu ke waktu,” katanya. 

Data BPS menyebutkan, lebih dari 30 persen rumah tangga di Indonesia tidak memiliki akses perumahan yang layak dan terjangkau pada tahun 2021. “Di banyak kota, kurangnya pilihan formal yang terjangkau mendorong rumah tangga berpenghasilan rendah ke perumahan informal atau ke pinggiran kota, di mana tanah lebih murah,” tambah Eka. 

Eka juga menyebutkan, meningkatnya urbanisasi yang disertai dengan berbagai guncangan dahsyat akibat perubahan iklim dan potensi bencana alam, kawasan perkotaan akan menjadi ‘rumah baru’ bagi kemiskinan. “Di mana rumah tangga mereka memiliki sumber daya yang terbatas untuk mengurangi, menyesuaikan, dan memulihkan diri dari guncangan. Sehingga pemulihan bencana dimulai dari minus, bukan nol,” katanya. 

Untuk mengatasi masalah tersebut, kata Eka, dibutuhkan cara pandang baru dalam melihat problem kemiskinan dan masalah perumahan di tengah perubahan iklim yaitu melalui pendekatan kemiskinan multi dimensi. 

Kemiskinan multidimensi merupakan pendekatan yang dipakai untuk melihat berbagai deprivasi yang dialami oleh masyarakat miskin dalam kehidupan sehari-hari, seperti kesehatan yang buruk, kurangnya akses pendidikan, standar hidup yang tidak memadai, ketidakberdayaan, kualitas pekerjaan yang buruk, ancaman kekerasan, dan tinggal di daerah yang rentan terhadap perubahan iklim. 

Lebih lanjut Eka menyebut, kemiskinan multidimensi dapat menjadi salah satu indikator skema penargetan geografis di bawah perlindungan sosial adaptif. Selanjutnya, proses perencanaan pembangunan permukiman harus membuka ruang partisipasi aktif bagi penduduk setempat. 

“Rumah layak masih menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemerintah Indonesia, sehingga kami mengusulkan agar pemerintah menata permukiman informal terutama di daerah yang paling rentan terhadap bencana alam dan perubahan iklim. Pemerintah juga harus mengatasi ketimpangan perkotaan dengan menerapkan pembatasan kepemilikan rumah terutama untuk tujuan investasi dan mengenakan pajak progresif untuk kepemilikan rumah,” kata Eka. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.