Mengatasi Kesenjangan Pajak di Asia dan Dunia 

Jakarta, The PRAKARSA – Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan Publik The PRAKARSA menjadi salah satu pembicara pada diskusi publik yang bertema Centering Inequality to Achieve Sustainable Development Goals (SDGs) yang diselenggarakan oleh Oxfam di Indonesia dan Penabulu. Bertempat di Aula Universita Katolik Indonesia Atma Jaya, pada Kamis (23/01/2025).  

Dalam diskusi publik tersebut, Peneliti The PRAKARSA Samira Hanim memaparkan kondisi ketimpangan kekayaan yang semakin mencolok di Asia, terutama di Indonesia. Hal tersebut mendasari pentingnya penerapan pajak kekayaan dalam mengatasi ketidakadilan ekonomi. 

Samira menjelaskan, pertumbuhan kekayaan para miliarder global mencapai rata-rata 7,1% per tahun antara 1987 dan 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pendapatan per orang dewasa yang hanya 1,3%. Data ini menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan dalam distribusi kekayaan. 

Lebih lanjut, Samira menekankan bahwa di negara-negara Asia Tenggara, 50% populasi terbawah hanya menguasai sekitar 10% hingga 15% dari total pendapatan, sementara 10% populasi terkaya menguasai sekitar 55% dari total pendapatan nasional. “Hal ini mencerminkan kesenjangan yang mendalam dalam distribusi pendapatan” katanya. 

Berdasarkan laporan The Wealth Report 2024, diperkirakan tingkat pertumbuhan kekayaan ultra-high-net-worth-individual (UHNWI) di Indonesia akan meningkat 34,1% dari 2023 hingga 2028. “Jumlah UHNWI di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebanyak 1.479 individu, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.984 individu pada tahun 2028,” ungkap Samira.

Keterbatasan Kapasitas Fiskal 

Lebih lanjut Samira juga menyoroti rendahnya rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) di negara-negara ASEAN. “Rendahnya rasio pajak ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya sektor informal dalam perekonomian. Hal ini berdampak pada kapasitas fiskal pemerintah untuk membiayai program-program yang dapat mengurangi ketimpangan, seperti pendidikan dan kesehatan,” ungkapnya. 

Mengutip data Bank Dunia (2023) Samira menjelaskan pengeluaran pemerintah Indonesia untuk pendidikan dan kesehatan termasuk yang terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah. “Dengan kapasitas fiskal yang terbatas, akses masyarakat terhadap layanan dasar semakin terbatas,” tambahnya. 

Untuk itu, menurut Samira perlu ada reformasi pajak untuk menciptakan keadilan ekonomi. Salah satu kebiajakan yang ditawarkan dalam reformasi perpajakan adalah pajak kekayaan (wealth tax). 

Secara sederhana Samira menjelaskan pajak kekayaan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, pertama, holding of wealth yang meliputi aset bersih yang dimiliki individu. Kedua, transfer of wealth meliputi pajak atas warisan, sumbangan, dan hibah. Terakhir, wealth appreciation yang mencakup pajak atas kenaikan nilai aset. 

Dari berbagai penelitian yang ada, menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan pajak kekayaan cenderung memiliki tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. “Negara-negara yang memperoleh banyak pendapatan dari pajak kekayaan cenderung memiliki tingkat ketimpangan pendapatan dan kemiskinan yang lebih rendah,” kata Samira. 

Implementasi pajak kekayaan di Asia Tenggara diperkirakan dapat memberikan potensi pendapatan yang signifikan. Pemerintah diharapkan dapat mendorong penerapan pajak kekayaan ini untuk mendanai program-program sosial dan infrastruktur yang dapat mengurangi ketimpangan. 

Advokasi untuk pajak kekayaan di Indonesia diharapkan dapat mendorong kebijakan fiskal yang lebih adil. “Pajak kekayaan adalah alat yang efektif untuk mengurangi ketimpangan dan memastikan semua lapisan masyarakat mendapatkan akses yang sama terhadap layanan dasar,” tutup Samira. 

Diskusi ini juga mengundang pembicara lain diantaranya Media Azkar dari CELIOS, Rahardhika Utama dari Institute for Edvance Research (IFAR) Atma Jaya, N. Aidawardhani dari Pamflet Generasi, dan Rena Herdiyani dari Kalyana Mitra.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.