Peluang menarik pajak kekayaan dari daftar orang terkaya di luar pajak penghasilan
Oleh: Irvan Tengku Harja – Peneliti The PRAKARSA
Pemerintah terus berupaya menggali potensi pajak dari kelas pekerja melalui aturan baru tentang pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Agar berkeadilan, pemerintah semestinya menggali pula potensi penerimaan pajak dari kelas pemodal melalui pajak kekayaan (wealth tax).
Wacana pajak kekayaan kian disokong kalangan cendikiawan. Deputi Direktur Dana Moneter Internasional, Paolo Mauro, menekankan bahwa pajak kekayaan relevan untuk pemulihan ekonomi, apalagi di tengah fenomena “erosi” pajak bagi populasi di pucuk piramida penghasilan (The Guardian, 2021). Penelitian Saez dan Zucman (2022) menyimpulkan bahwa pajak atas harta bisa merestorasi pajak progresif bagi golongan superkaya. Dari pemikiran mereka, tersirat makna bahwa pajak yang berlaku bagi orang-orang tajir sedang mengalami erosi sehingga perlu direstorasi.
Signifikansi Pajak Kekayaan
Pajak kekayaan menemukan signifikansinya untuk diterapkan di Indonesia setidaknya karena dua hal. Pertama, banyaknya sumur penerimaan pajak yang belum dipompa. Itu tercermin dari rasio pajak yang cenderung kecil terhadap produk domestik bruto (PDB) yang besar. Pada 2017, rasio pajak menyentuh 9,89 persen terhadap PDB yang sebesar Rp 13,5 kuadriliun. Pada 2021, dengan PDB Rp 16,9 kuadriliun, rasio pajak justru menciut ke angka 9,11 persen, padahal Indonesia idealnya memiliki rasio pajak sebesar 15 persen (Bank Dunia, 2018).
Kedua, ketimpangan kekayaan yang melebar. Bagaimana tidak, 1 persen populasi terkaya di Indonesia melumat 30 persen kekayaan nasional, sedangkan 50 persen yang termiskin hanya mencicipi 5 persen (World Inequality Report, 2022). Terlebih pada masa pandemi ketika rakyat banyak berkantong makin tipis, rata-rata harta 100 orang terkaya di Tanah Air makin bertumpuk (Forbes, 2022). Melalui studinya, Guvenen et al. (2019) membuktikan bahwa pajak kekayaan secara simultan mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kinerja ekonomi.
Dalam praktiknya pajak kekayaan berlaku berbeda-beda di banyak negara. Di Norwegia, pajak kekayaan dipungut tahunan dengan tarif progresif 0,5-1,5 persen dengan ambang batas (threshold) kekayaan sebesar 1,5 juta krone atau sekitar Rp 2,3 miliar untuk orang lajang dan 3 juta krone atau sekitar Rp 4,6 miliar untuk orang yang menikah. Di Kolombia, ambang batasnya 5 miliar peso atau sekitar Rp 16 miliar dengan tarif flat 1 persen (Price Waterhouse Coopers, Worldwide Tax Summaries).
Pajak Si Kaya
Saya Bersama tim peneliti PRAKARSA menawarkan desain pajak kekayaan di Indonesia. Pajak kekayaan dikenakan kepada net worth (total nilai aset dikurangi beban). Wajib pajaknya ialah high-net-worth individual (HNWI) dengan kekayaan bersih melebihi Rp 144 miliar. Umpamanya, HNWI dengan harta bersih senilai Rp 150 miliar, maka kekayaan kena pajaknya sebesar Rp 6 miliar dikalikan 1 persen, yakni Rp 60 juta. Aset yang menjadi objek perhitungan pajak meliputi tabungan/giro, deposito, saham, waran, surat berharga negara, sukuk, logam mulia, warisan, donasi, dan hibah. Lalu, tarif yang dikenai progrsif sebesar 1-2 persen dan dilakukan melalui laporan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT).
Dari ambang batas Rp 144 miliar, diperkirakan terdapat 4.714 wajib pajak dengan taksiran penerimaan pajak mencapai Rp 78,5 triliun. Estimasi penerimaan tersebut lebih potensial ketimbang dua kali penerimaan pajak penghasilan (PPh) melalui pengampunan pajak pada 2016 dan 2022 yang sebesar Rp 61 triliun.
Pajak kekayaan tidak membuat negative pertumbuhan kekayaan HNWI, yang umumnya bukan penerima upah. Berdasarkan simulasi yang penulis lakukan terhadap kinerja tiga instrument investasi—deposito, emas, dan indeks harga saham gabungan (IHSG)—dalam setahun (19 Agustus 2021-18 Agustus 2022) dengan posisi aset awal Rp 150 miliar, investor masih menikmati keuntungan walaupun pajak kekayaan ditarik. Ini karena tingkat pengembalian modal atas kinerja tiga instrument investasi itu masih positif, meskipun dipangkas berbagai jenis PPh final yang berlaku plus tarif pajak kekayaan sebesar 1-2 persen.
Penerapan pajak kekayaan hendaknya diiringi Langkah-langkah prudensial guna meminimalkan resistensi kelas pemodal. Pertama, penerimaan pajak kekayaan dialokasikan untuk pembangunan yang bernuansa solidaritas sosial, seperti bantuan sosial, pangan, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan. Ibarat sekali mendayung melewati dua pulau, pajak kekayaan menambah penerimaan pajak sekaligus mengikis kecemburuan sosial.
Kedua, pemerintah memberi pengakuan simbolis kepada penyetor pajak kekayaan. Ini, misalnya, dengan memasang nama pembayar pajak sebagai nama bilik perawatan fasilitas Kesehatan yang dibangun dari pajak kekayaan. Hal demikian diperlukan karena terkadang manusia butuh penghargaan atas tindakan filantropis yang dilakoninya.
Ketiga, untuk menciptakan rasa tentram di hati pembayar pajak, buru dan proses hukum si pengemplang atau penunggak pajak. Jangan ada lagi pengampunan pajak (tax amnesty). Bila perlu, lakukan naming and shaming, mengungkap wajib pajak yang patuh dan tidak patuh ke publik.
Dengan menyertakan pajak kekayaan ke dalam nomenklatur perpajakan nasional, penggalian potensi pajak di Indonesia jadi lebih luas dan merata. Tidak hanya wilayah keuangan kelas pekerja yang digali, lapangan keuangan kelas pemodal pun tergali juga.