Mengintegrasikan Negara Pembangunan dan Institusi Inklusif

Institusi inklusif yang menjamin akses setara ke sumber daya, peluang, dan hak semua anggota masyarakat menjadi kunci.

Foto: Muhammad Ravel/unsplash.com/@rawvel

Oleh: Setyo Budiantoro (Peneliti Senior The PRAKARSA)

Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia tampaknya akan kian mengokohkan paradigma developmental state (negara pembangunan) di Indonesia.

Paradigma yang telah terbukti efektif di beberapa negara Asia Timur, seperti Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan, itu menunjukkan bahwa intervensi strategis serta peran aktif pemerintah dapat mempercepat pertumbuhan dan transformasi sosial-ekonomi. Pendekatan ini menantang paradigma neoliberal yang meyakini peran minimal negara dalam ekonomi.

Hak tersebut juga telah disampaikan secara eksplisit oleh Prabowo dalam berbagai kesempatan.

Kesuksesan negara-negara Asia Timur dalam menerapkan model developmental state dapat dikaitkan dengan beberapa faktor kunci. Pertama, komitmen kuat pemerintah terhadap pembangunan industri dan teknologi sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi.

Melalui kebijakan yang dirancang dengan cermat, pemerintah tidak hanya mengarahkan sumber daya ke sektor-sektor strategis, tetapi juga memastikan pengembangan ekosistem yang mendukung inovasi dan kompetisi.

Kedua, adanya koordinasi yang erat antara pemerintah, sektor bisnis, dan institusi penelitian menciptakan sinergi yang memungkinkan transfer pengetahuan dan teknologi, serta pengembangan keahlian lokal.

Ketiga, penerapan kebijakan pendidikan dan pelatihan yang progresif, mempersiapkan tenaga kerja terampil, serta mendorong produktivitas dan inovasi.

Birokrasi bersih dan kelembagaan

Dalam developmental state, pemerintah memainkan peran kunci dalam mengarahkan pertumbuhan dan transformasi sosial-ekonomi melalui regulasi dan kebijakan. Pemerintah tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tetapi juga sebagai pelaku aktif yang menentukan arah pembangunan dengan menyediakan insentif dan pembatasan.

Intervensi ini bisa meliputi kebijakan fiskal dan moneter serta dukungan terhadap penelitian dan pengembangan teknologi baru, yang bertujuan untuk mengamankan pencapaian visi pembangunan jangka panjang.

Meskipun tujuannya mulia, intervensi berlebihan pemerintah juga berisiko menghambat inovasi swasta dan menciptakan ketergantungan pada subsidi pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan batasan yang jelas atas intervensi pemerintah dalam ekonomi, memastikan bahwa dukungan terhadap sektor industri tidak menghalangi kompetisi sehat dan inovasi.

Keberhasilan model developmental state juga bergantung pada dua prasyarat utama: adanya birokrasi yang efisien dan bersih, serta pembentukan lembaga-lembaga yang memungkinkan pemerintah mengambil peran aktif dalam ekonomi. Kehadiran kedua elemen ini sangat krusial. Tanpanya, kerja sama intens antara pemerintah dan sektor bisnis berisiko berakhir pada kolusi dan korupsi, yang pada akhirnya justru akan merusak kesehatan ekonomi.

Contoh nyata institusi efektif dan birokrasi yang berintegritas tinggi, antara lain, adalah Ministry of Economy, Trade and Industry (METI) di Jepang, Economic Planning Board (EPB) di Korea Selatan, dan Council for Economic Planning and Development (CEPD) di Taiwan. Institusi-institusi ini memainkan peran kunci dalam menjamin kesuksesan model developmental state.

Melalui kerja keras dan dedikasi, mereka menunjukkan bagaimana keterpaduan antara pemerintah visioner dan eksekusi kebijakan efisien bisa membawa ke kemajuan negara secara gemilang.

Interdependensi terpimpin

Dalam paradigma developmental state terdapat pendekatan jalan tengah, yakni negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga memainkan peran kunci dalam mendukung dan mengarahkan pengembangan industri serta teknologi. Konsep ini dikenal sebagai interdependensi terpimpin (governed interdependence), yang menggambarkan hubungan simbiosis antara pemerintah dan sektor bisnis dengan dominasi peran pemerintah.

Dalam model ini, pemerintah tidak hanya pasif terhadap kepentingan pemilik modal, tetapi secara proaktif mengarahkan pengembangan sektor industri yang memberikan manfaat luas.

Hubungan ini bersifat interdependen, dengan pemerintah dan sektor swasta saling melengkapi, tetapi pemerintah memegang peranan lebih dominan dalam memandu kerja sama, menghindari praktik perburuan rente, serta kepentingan jangka pendek di dunia bisnis.

Dengan demikian, industri yang dikembangkan dalam model ini tidak dikendalikan oleh lobi kepentingan pemilik modal, tetapi lebih pada sektor-sektor yang diidentifikasi pemerintah sebagai katalis manfaat luas dan keuntungan untuk masyarakat secara umum. Pendekatan ini mencerminkan fokus tidak hanya pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada pentingnya inovasi, kolaborasi, dan visi jangka panjang dalam menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi inklusif.

Tantangan riil Indonesia

Dalam konteks interdependensi terpimpin, Indonesia menghadapi tantangan nyata dalam menciptakan sinergi efektif antara sektor bisnis dan pemerintah. Praktik negosiasi sering kali individualistis dan berorientasi pada lobi, cenderung menggantikan diskusi kolektif yang konstruktif dan produktif.

Meskipun idealnya asosiasi industri dan perdagangan berfungsi sebagai mediator strategis antara pemerintah dan sektor bisnis, realitas yang sering terjadi lebih mirip kolusi daripada kemitraan yang sehat dan efektif. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang integritas dan efektivitas dari kerja sama yang dijalin.

Lebih lanjut, tren kolaborasi yang berujung pada kolusi menunjukkan terbentuknya institusi ekstraktif, yang menguntungkan hanya segelintir elite dan menghambat inovasi serta pertumbuhan ekonomi melalui konsentrasi kekayaan dan kekuasaan sekaligus memperdalam disparitas sosial. Kondisi ini akan memperluas jurang kesenjangan antara elite dan masyarakat umum.

Keberlanjutan kondisi ini berisiko menjadikan Indonesia contoh negatif, sebagaimana dibahas dalam buku Why Nations Fail oleh Daron Acemoglu, yang mengeksplorasi secara ekstensif mengapa negara-negara gagal. Di situ disimpulkan, institusi ekstraktif adalah biang keladi akar permasalahan.

Jika kondisi ini berlanjut, visi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 mungkin harus dikubur. Mengingat populasi akan menua dan sumber daya alam kian terbatas akibat eksploitasi, Indonesia menghadapi risiko terjebak dalam perangkap pendapatan menengah (middle income trap) selamanya.

Agenda mendesak

Integrasi institusi inklusif, sebagaimana diuraikan Acemoglu, jadi fondasi esensial keberhasilan sebuah negara.

Institusi inklusif yang menjamin akses setara ke sumber daya, peluang, dan hak bagi semua anggota masyarakat merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Melalui institusi inklusif, keterlibatan aktif berbagai lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan ekonomi diperkuat, serta akumulasi kekayaan dan kekuasaan di tangan segelintir elite dicegah.

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan transformasi mendasar dalam interaksi antara pemerintah dan sektor bisnis: memperkuat institusi inklusif, membentuk birokrasi bersih dan disiplin, serta mengadopsi praktik kerja sama yang transparan dan berorientasi pada tujuan bersama pembangunan.

Pembangunan ekonomi inklusif, maju, dan berkelanjutan memerlukan dasar institusional kuat, di mana kebijakan dan program dirancang untuk mendorong partisipasi luas, mencegah konsentrasi kekayaan, dan memfasilitasi distribusi manfaat pembangunan secara adil.

Tentu saja, mengatasi resistensi dari kelompok-kelompok kepentingan yang mungkin merasa dirugikan oleh perubahan sistem meningkatkan efisiensi dan transparansi birokrasi, serta mempromosikan budaya yang mendukung inovasi dan pembangunan ekonomi, adalah tugas menantang.

Namun, dengan determinasi kepemimpinan kuat dan arah jelas—sebagaimana syarat developmental state—Indonesia tidak hanya dapat menghindari perangkap pendapatan menengah, tetapi juga berada pada jalur akselerasi menjadi negara maju dan bermartabat di panggung global.

***

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di kompas.id dengan judul “Lansia dan Pentingnya Layanan Perawatan Sosial Menyeluruh”. Klik untuk membacakompas.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.