Jakarta, The PRAKARSA – Pada Selasa (10/09/2024), lembaga riset dan advokasi kebijakan The PRAKARSA menyelenggarakan webinar bertajuk “Studi Keterlibatan Bank di Balik Permasalahan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Industri Pulp dan Kertas di Indonesia”. Acara ini merupakan bagian dari peluncuran riset terbaru The PRAKARSA yang menggali peran bank dalam konteks isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) dalam industri pulp dan kertas di Indonesia.
Industri pulp dan kertas di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari dampak lingkungan yang merusak hingga konflik sosial dengan masyarakat lokal. Riset ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana keterlibatan bank dalam pendanaan industri ini berkontribusi terhadap permasalahan tersebut.
Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan dalam sambutannya menyampaikan sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap peningkatan emisi. Oleh karena itu, memperbaiki sektor ini dapat berperan penting dalam menurunkan emisi di Indonesia.
“Pemerintah Jokowi telah berupaya mengatasi ketergantungan pada bisnis bahan mentah melalui program hilirisasi. Namun, hilirisasi ini masih memiliki masalah, karena lebih fokus pada peningkatan nilai tambah ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang lebih mendalam,” kata Maftuchan.
PRAKARSA dalam risetnya menurut Maftuchan juga mempertimbangkan perluasan penelitian ke sektor-sektor lain. “Sebelumnya, PRAKARSA telah melakukan riset di sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, untuk melihat lebih dalam komitmen industri sawit terhadap aspek sosial. PRAKARSA meneliti bagaimana industri kelapa sawit berkomitmen mengimplementasikan aspek pekerjaan yang layak (decent work) bagi pekerjanya bagaimana pemenuhan hak-hak dasar mereka. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Koalisi ResponsiBank dalam pengembangan buku panduan investasi sektor kelapa sawit bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana PRAKARSA konsisten memasukan aspek – aspek perlindungan tenaga kerja,” jelasnya.
Lebih lanjut, Peneliti The PRAKARSA Eksanti Amalia Kusuma Wardhani dalam paparannya menjelaskan adanya dampak lingkungan yang merusak dan konflik sosial dengan masyarakat lokal yang disebabkan oleh industri pulp dan kertas di Indonesia didasari oleh pemberian izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang pada tahun 2018 telah mencapai 11,17 juta hektare, tersebar di 336 konsesi di Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi, dan wilayah lainnya.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada tahun 2019 mengakibatkan kerusakan sebesar 1,65 juta hektare, menyebabkan kerugian negara hingga Rp 72,91 triliun, yang setara dengan 0,5% dari total PDB pada tahun yang sama (Kompas, 2023).
“Selain itu, konflik antara masyarakat dan perusahaan masih terjadi, Forest Watch Indonesia pada 2014 mencatat ada 2.585 konflik di 27 provinsi Indonesia selama periode 1990-2010,” papar Eksanti.
Sementara itu, menurut Eksanti perbankan sebagai pihak yang memberikan pembiayaan kepada perusahaan belum sepenuhnya memprioritaskan aspek lingkungan dan uji tuntas Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai prasyarat utama dalam pemberian kredit.
Isu keberlanjutan, termasuk aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST), yang telah diatur dalam perjanjian internasional dan berbagai konvensi, belum diintegrasikan secara komprehensif ke dalam kebijakan kredit perbankan. Sebagai pemberi kredit di sektor pulp dan kertas, bank secara tidak langsung turut berkontribusi terhadap dampak negatif di lapangan. “Berdasarkan hasil asesmen PRAKARSA, lima bank terbesar yang membiayai sektor pulp dan kertas, yaitu BRI, Mandiri, BCA, BI, dan Mizuho, memiliki komitmen yang relatif rendah terhadap kebijakan terkait perubahan iklim, HAM, sumber daya alam (SDA), dan kehutanan,” jelas Eksanti.
Eko Cahyono, peneliti dan pegiat Sayogjo Institute sebagai penanggap riset menekankan pentingnya dimensi sosial dan ekologis dalam mendidik aktor ekonomi, terutama bank. Ia mengungkapkan, “Rezim Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bertujuan untuk pulp dan kertas di Indonesia, hakekatnya hanya demi melayani dirinya sendiri dan oligariki di baliknya, serta tidak ada kesejahteraan untuk rakyat dan keberlanjutan ekologisnya,” tegasnya.
Riset ini mengidentifikasi adanya dukungan politik dan pendanaan yang terus mengalir ke sektor pulp dan kertas, meskipun banyak masalah yang menyertainya. Eko menambahkan, “Praktik korupsi seringkali menjadi hulu dari kerusakan sosial-ekologis,” merujuk pada sejumlah kasus di mana korupsi dan suap menghambat keberlanjutan.
Rizkiasari Yudawinata, Sustainable Finance Lead WWF Indonesia, yang juga hadir sebgai penanggap membahas analisis WWF terkait perbankan dan integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola. Ia menyatakan, “Dari 11 bank yang diidentifikasi, 8 di antaranya telah mengembangkan kebijakan sektoral. Contohnya, Bank BRI yang memiliki kebijakan spesifik terkait industri pulp dan kertas.”
Meskipun demikian, Rizkiasari juga mencatat tantangan yang dihadapi bank dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut, “Posisi tawar bank tidak sekuat yang diharapkan dalam praktiknya, terutama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan klien,” tutupnya.