Satu-dua tahun ini, kejadian pasien ditolak oleh penyelenggara pelayanan kesehatan sudah jarang sekali terdengar. Candaan bernada sarkas “sadikin, sakit dikit jatuh miskin” atau “orang miskin dilarang sakit”, sudah kurang relevan diketengahkan di ruangruang diskusi atau obrolan warung kopi. Saat ini, yang mengemuka adalah “sadiman, sakit dikit minta pelayanan”. Akibatnya, antrian di Puskesmas dan Rumah Sakit mengular. Pun, antrian di kantor-kantor BPJS Kesehatan.
Kondisi di atas sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional/JKN BPJS Kesehatan. JKN-BPJS Kesehatan yang merupakan program jaminan sosial nasional bidang kesehatan mulai diluncurkan pada 1 Januari 2014 mengubah kondisi kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Proyeksi yang ditetapkan sangat menjanjikan, yakni terwujudnya universal health coverage (UHC), jaminan kesehatan semesta, untuk seluruh penduduk Indonesia. Tentu akan mengubah masa depan pembangunan kesehatan nasional yang lebih berkualitas, terjangkau dan merata.
UHC merupakan bukti komitmen untuk kesetaraan (ekuitas) dalam akses pelayanan kesehatan secara semesta, setara kualitas dan aksesibilitasnya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo menargetkan pada tahun 2019 pelaksanaan UHC akan tercapai. Dalam rentang penahapan menuju UHC inilah, Indonesia akan mengidap risiko terjadinya eksklusi kesehatan, mereka yang kurang mampu akan tertinggal dalam mendapatkan akses kesehatan yang mudah dan berkualitas. Menyitir Tobin (1970) dan Sen (2002), ketidaksetaraan terutama dalam kesehatan sangat mencemaskan dan lebih parah dibandingkan dengan ketidaksetaraan di bidang lain.
Kondisi kesehatan seseorang sangat menentukan kapabilitas seseorang untuk dapat berfungsi secara utuh dan mengembangkan diri sebagai manusia. Jika kondisi kesehatan seseorang memburuk, maka produktivitasnya juga akan memburuk. Sayangnya, meskipun sangat vital posisinya, bidang kesehatan masih saja “dianak-tirikan”. Bandingkan saja dengan kebijakan pendidikan, ekonomi, pertahanankeamanan, infrastruktur dan lainnya. Coba kita tengok alokasi anggaran kesehatan di APBN maupun di APBD, jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan, maka jomplang sekali. Untung saja tahapan menuju UHC sudah dimulai sejak 2014 dan untung saja sejak 2016 APBN sudah mulai mengalokasikan anggaran kesehatan 5 persen dari total APBN. Kabar baik lainnya, banyak pemerintah daerah yang sudah meningkatkan alokasi anggaran kesehatannya sebesar 10 persen dari total APBD. Meskipun baik di APBN maupun di APBD, alokasi anggaran tersebut masih termasuk untuk belanja pegawai bidang kesehatan, belum sepenuhnya untuk promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Secara umum, sejak JKN dilaksanakan, cakupan pelayanan kesehatan secara nasional makin luas dan makin berkualitas. Cakupan pelayanan kesehatan dalam skema JKN cukup luas, penyakit berat yang dulu tidak ditanggung oleh skema jaminan kesehatan masyarakat dan jaminan kesehatan daerah, saat ini sudah di-cover oleh BPJS Kesehatan, satu kemajuan yang patut diapresiasi. Penyakit-penyakit yang perawatan dan penyembuhannya membutuhkan biaya tinggi seperti serangan jantung, stroke, kanker, cuci darah, dan lain-lain ditanggung penuh. Pun, penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan seumur hidup, seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung, asma, penyakit paru kronis, epilepsi, skizofrenia, sirosis hepatitis, stroke, lupus dan lain sebagainya.
Meskipun cakupan dan pelayanan kesehatan sudah cukup baik, peningkatan pelayanan tetap perlu dilakukan mengingat masih banyaknya permasalahan pelaksanaan JKN. Kasus-kasus seperti pasien BPJS Kesehatan yang tidak kebagian kamar perawatan, pasien menumpuk di selaras, mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan hingga moral hazard dari penyedia layanan kesehatan sampai moral hazard peserta BPJS Kesehatan yang tidak patuh dalam membayar iuran dengan memanfaatkan celah aturan yang ada dan lainnya masih marak terjadi.
Persoalan lain yang masih mengemuka adalah masih rendahnya aksesibilitas khususnya penduduk miskin dan kurang mampu yang disebabkan oleh kondisi internal dan eksternal. Misalnya, kesadaaran pentingnya mengakses pelayanan kesehatan, jarak tempat tinggal dengan lokasi layanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan, terbatasnya kemampuan finansial untuk menjalani proses pengobatan (biaya nonmedis), diskriminasi pelayanan, administrasi yang rumit dan lain-lain masih menjadi kendala sehari-hari.
Dengan fakta bahwa kelompok masyarakat miskin dan kurang mampu yang sangat rentan menghadapi situasi darurat kesehatan. Adanya skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang disediakan pemerintah kepada masyarakat miskin dan kurang mampu tidak secara otomatis menghilangkan permasalahan di atas dan permasalahan ekuitas pelayanan kesehatan. Ekuitas dalam pelayanan kesehatan merupakan jalan bagi pemerataan yang berkeadilan dan pemerataan. Ini penting karena dalam praktiknya, masih saja ada perbedaan perlakuan pelayanan kesehatan yang berbeda bagi peserta JKN PBI dan non-PBI, ini mengindikasikan adanya ketidakadilan. Padahal, JKN diharapkan dapat melingkupi seluruh rakyat Indonesia di manapun berada dengan apapun status yang dimilikinya.