Oleh: Darmawan Prasetya (Research Associate The PRAKARSA)
Ada potensi besar dalam yang ditangkap Indonesia dari ekonomi hijau. Setidaknya, pemerintah berambisi untuk menciptakan 1,8 juta pekerjaan baru dari ekonomi hijau hingga tahun 2030.
Bappenas memproyeksikan beberapa sektor industri strategis dapat menyerap tenaga kerja adalah kendaraan listrik, energi bersih, restorasi lahan, dan pengelolaan limbah-sampah. Upaya ini merupakan sebuah langkah jangka panjang berani untuk menopang stabilitas pertumbuhan PDB sebesar 6%-6,5% per tahun dan mewujudkan visi menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045.
Meski potensial, ada hambatan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses pekerjaan ekonomi hijau. Ada setidaknya 22,97 juta jiwa penyandang disabilitas atau 8,5% dari total populasi Indonesia yang perlu mendapat perhatian lebih dari kita semua karena masih ekslusifnya akses pekerjaan dan pelatihan dari sistem yang sekarang ada.
Ramah lingkungan, tak ramah disabilitas
Pekerjaan hijau berfokus pada pengurangan emisi dalam segala aspek kehidupan kita, mulai dari apa yang kita konsumsi hingga bagaimana kita melakukan mobilitas sehari-hari. Secara otomatis, rekrutmen pekerjaan pada ekonomi hijau memerlukan keahlian dan keterampilan tinggi.
Karena membutuhkan keterampilan tingkat lanjut, peluang pekerjaan ekonomi hijau sarat akan kemampuan mengoperasikan teknologi baru atau keterampilan seperti berjejaring dan berorganisasi yang luas. Keterampilan kunci untuk pekerjaan hijau juga mencakup kesadaran lingkungan dan kemauan untuk terus belajar tentang pembangunan berkelanjutan.
Penyandang disabilitas masih menghadapi hambatan signifikan dalam mengakses pelatihan kerja. Dari 305 Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersedia, minim data dan informasi BLK mana yang melaksanakan pelatihan bagi penyandang disabilitas.
Sebagian besar BLK ini juga tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk memberikan pelatihan inklusif. Studi PRAKARSA (2022) menemukan bahwa 90% tenaga kerja penyandang disabilitas belum pernah mendapatkan pelatihan keterampilan kerja.
Pelatihan yang ditawarkan oleh BLK kepada penyandang disabilitas juga tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan hijau. Misalnya sektor kendaraan listrik diperkirakan akan berkembang pesat pada periode awal transisi hijau, yang sudah terlihat saat ini dari banyaknya kendaraan listrik yang berlalu-lalang, sehingga menciptakan permintaan SDM seperti mekanik.
Sayangnya, minim pelatihan kerja di bidang tersebut. Pelatihan yang ditawarkan di BLK justru sebagian besar berfokus pada sektor jasa seperti tata boga dan pijat. Ketidaksesuaian keterampilan ini dapat menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam sektor pekerjaan hijau.
Di sisi lain, pusat rehabilitasi yang dikelola oleh Kementerian Sosial sebetulnya menawarkan pelatihan komprehensif yang mencakup keterampilan hard skill seperti pelatihan teknis dan keterampilan soft skill seperti keterampilan kerja tim dan berorganisasi.
Namun, pusat rehabilitasi ini biasanya hanya melayani jenis disabilitas tertentu seperti kategori disabilitas netra, dan tidak menerima disabilitas ganda. Pusat rehabilitasi juga memiliki kuota yang terbatas, dan durasi pelatihan lebih dari enam bulan. Selain jangkauan dan dampaknya minim, pola pelatihan ini tidak dapat memenuhi kebutuhan rekrutmen perusahaan yang membutuhkan kuota besar.
Memiliki pengalaman pelatihan juga bukan jaminan bagi penyandang disabilitas akan mendapatkan pekerjaan. Sebab, pemberi kerja pun kurang menyediakan informasi lowongan pekerjaan dan memiliki pemahaman yang minim tentang disabilitas di tempat kerja. Oleh karena itu, program pelatihan bagi penyandang disabilitas sebaiknya juga memiliki skema magang atau penyaluran kerja.
Mandat yang jalan di tempat
Salah satu fase paling umum dalam ekonomi hijau adalah transisi energi. Transisi energi tidak hanya mendorong sistem energi yang berkelanjutan tetapi juga transformasi struktur ekonomi dan social yang luas. Transisi ekonomi hijau ditargetkan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat bagi semua orang yang berprinsip “no one left behind” atau tak ada yang tertinggal.
Indonesia sendiri sebetulnya sudah memiliki peraturan terkait pelaksanaan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di sektor ketenagakerjaan. Beleid tersebut menawarkan layanan seperti konseling bagi penyandang disabilitas yang mencari pekerjaan, serta membantu menghubungkan pemberi kerja dan pencari kerja disabilitas.
Tetapi, persoalan seperti minimnya jumlah anggaran untuk keberadaan dan operasionalisasi ULD yang masih tersentralisasi di dinas tingkat provinsi membuat banyak angkatan kerja disabilitas sulit mengakses. Di sisi lain, untuk memastikan bahwa pelatihan bermanfaat bagi penyandang disabilitas, pemerintah harus secara aktif mempromosikan pasar kerja hijau secara merata.
Indonesia telah mengesahkan undang-undang penyandang disabilitas yang mewajibkan kuota minimum pekerjaan bagi penyandang disabilitas sebesar 1% untuk sektor publik dan 2% untuk sektor swasta. Namun sayangnya, implementasi kebijakan ini minim sistem pemantauan dan evaluasi yang jelas. Penelitian PRAKARSA tahun 2022 menemukan penerapan kuota minimum rekrutmen penyandang disabilitas belum masuk dalam poin monitoring pengawasan perusahaan.
Minimnya pengawasan tersebut membuat keharusan perekrutan disabilitas bakal sulit tercapai. Solusinya, selain menegakkan pengawasan yang optimal, pemerintah perlu menerapkan insentif jangka panjang bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.
Kebutuhan akan pelatihan kerja inklusif tidak hanya terbatas pada peningkatan keterampilan pada penyandang disabilitas yang sudah ada, tetapi juga dapat menyasar pelatihan bagi individu yang menjadi disabilitas akibat kecelakaan kerja. Pelatihan kerja inklusif dapat mendukung proses transisi mereka dan memastikan mereka tetap memiliki daya saing di pasar kerja, sejalan dengan amanat Undang-Undang Cipta Kerja.
Ragam referensi tersedia untuk pembelajaran
Seperti yang diketahui, perkembangan ekonomi hijau juga menjadi keniscayaan sebab subjek tersebut merupakan terjemahan tindak lanjut nyata dari kesepakatan global Sustainable Development Goals sejak 2015. Komitmen tersebut juga sudah seharusnya dijalankan oleh negara sebagai warga dunia.
Alhasil semua negara berlomba-lomba untuk menjalankan komitmennya terhadap ekonomi hijau dan juga tingkat inklusivitas tinggi terhadap disabilitas. Kebijakan lönebidrag di Swedia, misalnya, menawarkan bantuan untuk renovasi aksesibilitas kepada perusahaan yang mempekerjakan individu dengan disabilitas pada tahun pertama rekrutmen. Inisiatif semacam ini merupakan investasi berkelanjutan yang dapat mendorong perusahaan untuk terus mempekerjakan penyandang disabilitas dalam jangka panjang.
Tidak hanya negara maju, negara berkembang seperti Brasil juga sudah selangkah lebih maju dibandingkan Indonesia. Inisiasi Program Aksi Inklusif (PSAI)) di Brasil memberikan sertifikasi keterampilan disabilitas dan menyalurkan untuk magang. PSAI ini dapat memberikan kesempatan bagi pemberi kerja untuk memahami konteks disabilitas di tempat kerja, yang pada akhirnya meningkatkan peluang kerja bagi penyandang disabilitas.
Tidak dipungkiri, menggapai tingkat inklusivitas 100% di suatu sektor ekonomi memang sulit. Saat ini indeks poin Indonesia terhadap ekonomi hijau ada di angka 41/100. Jangankan di sektor ekonomi hijau yang notaben masih tergolong baru, rasio sempurna inklusivitas pada sektor transportasi pun belum tercapai yang bahkan di fasilitas transportasi megapolitan Jakarta Raya sekalipun.
Diperlukan sinergitas dan komitmen tinggi antar semua pemangku kepentingan untuk menciptakan iklim ekonomi hijau yang berkelanjutan dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia. Para penyandang disabilitas, selain harus dipenuhi hak kemanusiannya oleh negara, tetap bisa menggapai sukses jika diberi kesempatan yang layak dan setara.
***
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di theconversation.com dengan judul “Minim akses dan pelatihan: Ekonomi hijau yang kelabu bagi penyandang disabilitas“. Baca selengkapnya di sini: theconversation.com