Jakarta – Infrastruktur teknologi komunikasi informasi harusnya dikembangkan agar dapat menunjang pengembangan ekonomi digital nasional dan kesejahteraan rakyat.
Hal ini diutarakan oleh Ah Maftuchan, pengamat kebijakan publik dari The Prakarsa dalam keterangan yang diterima detikINET. Menurutnya, frekuensi broadband harus dioptimalkan pemanfaatannya agar frekuensi menjadi lahan tidur namun tetap dikuasai oleh operator.
“Pengembangan akses data/internet yang baik akan menuntaskan ketertinggalan infrastruktur Information and Communication Technologies (ICT), menciptakan pemerataan layanan internet dan menurunkan kesenjangan ekonomi dan akses informasi di seluruh wilayah Indonesia,” ujarnya.
Namun saat ini menurutnya, kita sedang berhadapan dengan buruknya kondisi pemanfaatan BWA. Operator BWA berguguran satu per satu, hingga akhirnya sampai dengan tahun 2019 hanya tersisa 3 operator, yaitu Berca, Telkom, dan Indosat M2.
“Bergugurannya para operator BWA berdampak buruk antara lain: (i) hilangnya kesempatan penciptaan lapangan kerja, gagalnya penguatan UMKM dan gagalnya ambisi penciptaan digital startup/ bisnis aplikasi kelas dunia; (ii) buruknya konektivitas dan menurunnya pengembangan industri telekomunikasi domestik; (iii) hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dapat menambah pundi-pundi keuangan negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia”, tambah Yustinus Prastowo pengamat kebijakan pajak dan Direktur Eksekutif CITA dalam keterangan yang sama.
Pengusahaan atau pemanfaatan BWA yang tidak optimal juga dapat berdampak langsung bagi hak-hak rakyat di berbagai pelosok negeri. Pasalnya ketersediaan akses internet saat ini berkembang menjadi kebutuhan dasar bagi banyak warga.
“Kominfo perlu mempersiapkan penataan ulang pita frekuensi dengan mempertimbangkan agenda prioritas Presiden Jokowi dalam pengembangan startup nasional. Lelang frekuensi BWA misalnya, perlu mempertimbangkan operator yang terbukti berkomitmen membangun pemanfaatan frekuensi broadband secara optimal, efektif, dan efisien,” tandas Dr. Kuskridho Dodi Ambardhi, ahli komunikasi dan telekomunikasi dari UGM Yogyakarta.
Perusahaan telekomunikasi pemegang lisensi frekuensi BWA 2300 MHz saat ini dinilai kurang optimal memanfaatkannya. Hal ini berdampak langsung pada hilangnya potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor telekomunikasi informasi.
“Sektor PNBP Kominfo terkena dampak langsung, akibat selama sepuluh tahun usia perizinannya, Kominfo hanya memperoleh 72% dari target PNBP BWA atau sekitar Rp 4.1 trilyun. Jumlah tersebut jauh lebih kecil nilainya apabila dibandingkan dengan pendapatan 2300 MHz yang diterima dari alokasi perizinan bagi penyelenggara jaringan bergerak seluler yang mencapai 100%, yaitu dari Smartfren (sejak tahun 2014) atau senilai Rp 2.4 trilyun dan dari Telkomsel (sejak tahun 2017) sekitar Rp 4 trilyun (termasuk Up Front Fee),” tambah Yustinus Prastowo, pengamat kebijakan pajak.
Padahal, tambahnya, PNBP sangat penting kontribusinya sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Dana hasil lelang frekuensi dapat digunakan untuk mendukung pembiayaan program lain yang menjadi prioritas pemerintah.
“Secara prinsip, izin lisensi frekuensi Broadband Wireless Access 2300 – 2360 MHz yang saat ini masih under-used harus diakhiri untuk menuju pemanfaatan yang optimal sebanding dengan potensinya. Pemerintah harus segera bergerak untuk mengambil potensi yang ada di depan mata agar akses rakyat terhadap layanan data/ internet murah dan cepat terpenuhi dan agar penerimaan negara bukan pajak dari sektor industri telekomunikasi tidak menguap,” tutup Yustinus.
Sumber: Detik