The PRAKARSA, Bali – The PRAKARSA bekerja sama dengan C20 Indonesia dan South Asian Alliance for Poverty Radication menyelenggarakan side event G20 dengan judul “Envisaging Wealth Tax in the Post-pandemic World” untuk mendiskusikan apakah pajak kekayaan (wealth tax) dapat menjadi alternatif kebijakan fiskal untuk meningkatkan penerimaan negara. Acara ini menyoroti kebutuhan saat ini akan pajak kekayaan dan bagaimana instrumen ini dapat membuka jalan bagi kondisi sosial yang lebih adil dan setara melalui diskusi panel dan peluncuran dua laporan penelitian. Pada Senin (14/11/2022).
Acara diawali dengan sambutan oleh Herni Ramdlaningrum – Co-Chair C-20 dan Program Manager PRAKARSA, yang menyebut bahwa mengaplikasikan pajak pada orang super kaya selain dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan secara umum, tetapi juga mengurangi ketimpangan gender melalui penggunaan pendapatan untuk menciptakan ekonomi perawatan—memindahkan pekerjaan perawatan yang tidak dibayar dari perempuan dengan memberi mereka status ekonomi, akses ke pekerjaan, dan menghasilkan pendapatan.
Setelah sambutan, dua laporan mengenai “Wacana pajak kekayaan di Asia Tenggara dan Asia Selatan: Prospek dan tantangan” diluncurkan. Para peneliti dari SAAPE dan PRAKARSA mempresentasikan temuan tersebut.
Saat berbagi temuan dari penelitian tersebut, Irvan Tengku Harja, peneliti dari PRAKARSA, menyatakan, “perlu ada dimensi lain untuk pengentasan kemiskinan, seperti pajak kekayaan sebagai bagian instrumen redistribusi kekayaan. Nantinya, penerimaan pajak kekayaan dapat secara eksplisit dialokasikan untuk program pembangunan sosial seperti pajak untuk makanan, pendidikan, kesehatan, bantuan kemanusiaan, dll.”
Menurut Forbes, selama pandemi Covid-19, kekayaan rata-rata seratus orang paling kaya di Indonesia telah meningkat, sementara mayoritas masyarakat sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Irvan menambahkan, “kami mensurvei anggota DPR, dan di antara 61 anggota parlemen yang mengisi survei, 77 persen dari mereka setuju untuk mendukung pajak kekayaan karena diperlukan untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi”.
Berdasarkan poin-poinnya, Samira Hanim dari PRAKARSA menyoroti bahwa secara historis, Islam mengakui pajak kekayaan sejak tahun-tahun awal Islam. Kondisi gagal panen mengakibatkan jumlah orang miskin meningkat sehingga mendesak pemimpin Islam untuk memberlakukan zakat tambahan bagi orang kaya.
Dalam konteks Asia Selatan, “Ketimpangan disposable income berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi. Pajak kekayaan bukan hanya tentang meningkatkan penerimaan negara. Ini juga dapat mengurangi ketimpangan kekayaan, sangat progresif, merangsang aktivitas ekonomi, dan mendapat dukungan publik yang luas,” kata Sudhir dari SAAPE.
Menambah temuan Sudhir, Jyotsna berbagi bahwa pajak kekayaan dapat memperbaiki ketimpangan sekaligus mengatasi masalah pertumbuhan ekonomi.
Perpajakan yang adil untuk kondisi sosial-ekonomi yang setara tidak dapat dicapai tanpa menjaga perempuan sebagai pusat diskusi ini, karena mereka berbagi bagian penting dari ekonomi. Sambil menjelaskan masalah ini, anggota TAFJA Vidya Dinker dari INSAF menyatakan, “pandemi memperburuk ketidaksetaraan gender yang ada, tetapi pemerintah bahkan lebih berdiri dengan orang kaya, terutama dalam hal perpajakan. Pemerintah tidak peduli bagaimana meningkatkan pendapatan untuk membayar perempuan yang bekerja di keluarga, pabrik, atau lahan pertanian. Tidak ada hak ekonomi perempuan dalam sistem perpajakan.”
Tony Salvador dari Third World Network juga mengklarifikasi kesalahpahaman umum bahwa pajak kekayaan adalah pajak berganda. Dia menyebutkan bahwa “kita sekarang mengalami asimetri dan skema pajak yang tidak adil antara orang miskin dan orang super kaya. Bahkan jika orang super kaya tidak menjual asetnya, mereka masih bisa terkena pajak kekayaan ini karena memiliki asetnya. Itulah gagasan pajak kekayaan. Ini akan berlaku untuk kekayaan bersih saja dan desain yang ideal tidak memiliki masalah pajak berganda. Pajak kekayaan hanya akan berhasil secara politis jika Anda tunduk pada tujuan tertentu seperti pajak untuk makanan, rumah sakit, vaksin, dan pengeluaran lain untuk kesehatan”.
Peluncuran dilanjutkan dengan diskusi panel dan sesi tanya jawab tentang masalah pajak kekayaan dan bagaimana mewujudkan misi ini di dunia pasca-pandemi. Bagaimana menangani isu politik dan kepercayaan publik serta melakukan tindakan konkret untuk menjadikan isu pajak kekayaan ini termuat dalam diskusi forum G20 juga menjadi perhatian para peserta. “Ini bukan hanya permintaan lisan, tetapi kami juga menjadikan pajak kekayaan pada komunike tertulis (comumunique) kami sebagai rekomendasi tiga besar. Ini harus menjadi perjuangan panjang untuk mengadvokasi dan mengkampanyekan masalah ini di masa keketuaan G20 mendatang dan setelahnya,” kata Vidya dalam sebuah pernyataan yang tegas.
Diskusi ditutup dengan pernyataan oleh moderator, Jacques-Chai Chomthongdi (Private Sector Engagement Lead – Asia, Oxfam International), yang menegaskan bahwa kita harus terus mendorong dan bereksperimen untuk mencapai kebijakan yang pro terhadap orang-orang miskin dan rentan di seluruh dunia kedepannya.