Pajak Olahraga DKI Jakarta: Disinsentif Hidup Bugar Warga Jakarta

Olahraga padel yang tengah digemari warga kini terkena pajak sebesar 10 persen yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Jakarta. Pajak ini diberlakukan sebagai bagian dari upaya optimalisasi penerimaan daerah melalui sektor hiburan dan rekreasi. Antara

Jakarta, The PRAKARSA – Lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, The PRAKARSA menanggapi kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengenakan tarif 10% untuk sejumlah fasilitas olahraga. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi menetapkan 21 jenis fasilitas olahraga sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori jasa kesenian dan hiburan. Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025. Kebijakan tersebut menyebutkan 21 fasilitas olahraga yakni seperti tenis, futsal, bulu tangkis, basket, atletik, padel, dll. Kebijakan ini menuai perhatian publik karena berpotensi menjadi disinsentif terhadap aktivitas olahraga yang memiliki manfaat besar bagi kesehatan masyarakat.

Peneliti kebijakan ekonomi dan fiskal The PRAKARSA, Ema Kurnia Aminnisa berpendapat bahwa kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan bagi masyarakat kelas menengah karena banyak kelas menengah melakukan aktivitas olahraga yang tertuang dalam kebijakan tersebut. “Berbeda dengan golf yang identik dengan kelas atas, olahraga permainan seperti futsal, bulu tangkis, dan renang umumnya menjadi olahraga yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah”.

Ema juga menyebutkan beberapa negara maju justru memberikan insentif pajak untuk mendorong warganya aktif secara fisik. “Negara seperti Kanada justru menerapkan Children’s Fitness Tax Credit yang memungkinkan orang tua mendapatkan pengurangan pajak atas biaya aktivitas olahraga anak-anak mereka. Inggris menerapkan skema Cycle to Work yang membebaskan pajak untuk pembelian sepeda bagi karyawan yang ingin bersepeda untuk sampai ke tempat kerja”, tambah Ema.

Senada dengan itu, Roby Rushandie, ekonom The PRAKARSA, menyampaikan bahwa kebijakan fiskal semacam ini sering kali membebani kelas menengah, kelompok yang selama ini menjadi penopang ekonomi dan relatif patuh terhadap pajak. “Pemerintah biasanya menjadikan kelas menengah sebagai jalan pintas untuk menggenjot penerimaan pajak. Padahal mereka juga sedang menghadapi beban keuangan yang semakin besar,” kata Roby.

Roby juga menyarankan Pemprov DKI untuk menggali potensi penerimaan pajak daerah yang dapat mengurangai eksternalitas negatif dan memiliki potensi besar seperti pajak parkir. “Sebagian besar dari 21 fasilitas olahraga itu adalah sarana yang umum digunakan masyarakat dari berbagai kalangan. Sebaiknya pemprov DKI mempertimbangkan objek pajak lain seperti pajak parkir yang potensinya besar dan selaras dengan upaya pemprov untuk menggalakkan penggunaan transportasi publik”.

Roby juga menambahkan penerapan pajak olahraga tersebut agar memiliki skema earmarked tax yang dapat dialokasikan untuk pembangunan sarana olahraga dan ruang terbuka publik. “Pajak olahraga sebaiknya dirancang dengan skema earmarked tax artinya hasil penerimaan pajaknya digunakan secara khusus, misalnya untuk memperbaiki dan memperbanyak ruang terbuka publik agar warga DKI Jakarta bisa berolahraga dengan nyaman dan murah,” pungkasnya.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.