Jumlah pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit sangat besar, jika perusahaan sawit menerapkan praktik bisnis yang responsif terhadap isu sosial termasuk ketenagakerjaan dan lingkungan hidup, maka industri sawit dapat berkontribusi terhadap peningkatan kondisi ekonomi Indonesia secara lebih baik dan berkelanjutan. Namun demikian, situasi di lapangan seringkali berbeda. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) terdapat 281 juta pekerja yang hidup dalam kemiskinan ekstrem di negara-negara berkembang seperti Cina, India, Malaysia, dan Thailand. Di Indonesia sendiri, terdapat 16 juta pekerja dalam rantai pasok sawit, di mana 3,78 juta di antaranya adalah pekerja perkebunan.
Sebuah laporan investigasi yang diterbitkan oleh The Associate Press menyebutkan bahwa hampir semua pekerja di perkebunan sawit Malaysia dan Indonesia mengeluh tentang perlakuan perusahaan terhadap mereka. Sebagian menyatakan merasa ditipu, diancam, ditahan di luar kehendak mereka atau dipaksa untuk melunasi hutang yang tidak dapat diselesaikan. Sebagian pekerja menyampaikan bahwa mereka secara teratur diganggu oleh pihak berwenang, diangkut dalam penggerebekan dan ditahan di fasilitas pemerintah (AP, 2020).
Praktik bisnis sawit tentunya tidak dapat dilepaskan dari dukungan pembiayaan atau investasi, sehingga institusi keuangan atau investor memiliki keterkaitan dan turut bertanggung jawab atas praktik bisnis yang didanai, dak terkecuali industri sawit. Dalam konteks ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerbitkan Buku Kredit/Pembiayaan Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit (2019) dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman industri perbankan/keuangan terhadap proses bisnis kelapa sawit, sehingga diharapkan penyaluran kredit/pembiayaan di industri kelapa sawit dapat berjalan dengan risiko rendah dan memperhakan aspek Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (LST) yang baik. Aspek perlindungan terhadap pekerja sawit mendapat pengaturan dalam buku panduan tersebut, namun masih banyak perbankan dan lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada perusahaan sawit tanpa mempertimbangkan praktik perusahaan sawit yang abai terhadap pekerjanya.
Meksipun permasalah ketenagakerjaan selalu muncul dari waktu ke waktu, lembaga keuangan atau perbankan dalam dan luar negeri masih belum konsen terhadap isu perlindungan pekerja industri sawit dalam proses pengucuran kreditnya. Lembaga keuangan papan atas dunia seperti Deutsche Bank, BNY Mellon, Cigroup, HSBC dan Vanguard Group terus menggelontorkan investasinya ke perusahaan sawit sehingga produksi sawit meledak secara global dari hanya 5 juta ton pada tahun 1999 menjadi 72 juta ton pada 2020. Bahkan AS mencatat telah terjadinya lonjakan permintaan 900 persen selama 7 dekade terakhir (AP 2020).
Pada Hari Buruh Sedunia 2021, Koalisi Buruh Sawit meminta kepada pemerintah Indonesia agar memprioritaskan perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan buruh perkebunan sawit. Koalisi Buruh Sawit memandang bahwa pemerintah masih abai terhadap kondisi dan nasib buruh perkebunan sawit, sementara pemerintah sangat “pemurah” terhadap pelaku industri sawit.
Studi ini bertujuan untuk melihat secara lebih dekat, persoalan-persoalan yang terjadi pada pekerja buruh khususnya di kawasan perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Selain itu, studi ini juga berupaya melacak aliran keuangan pada perusahaan yang menjadi obyek studi sebagai studi kasus yang dapat melengkapi asesmen pemeringkatan bank yang selama ini dilakukan Responsibank Indonesia. Harapannya, studi ini akan menjadi salah satu evidences bagi pemangku kebijakan, pelaku usaha di sektor sawit dan organisasi buruh sawit untuk melakukan langkah-langkah bersama memperbaiki kondisi pekerja atau buruh di sektor perkebunan sawit.
Download Laporan “Pelanggaran Hak Buruh Perkebunan Sawit: Studi Kasus di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah” di bawah ini: