Peluang dan Tantangan Ekonomi Digital dan Potensi Pajak Digital di Indonesia

PRAKARSA, 31 Januari 2022. Sebagai presidensi G20, Indonesia memiliki keistimewaan untuk menentukan isu-isu yang akan dibahas dalam pertemuan G20. Dalam prosesnya, G20 didukung oleh official engagement group salah satunya adalah Civil 20 (C20) yaitu wadah organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia untuk terlibat dengan para pemerintah di G20 dalam mengahdapi isu-isu krusial di dunia saat ini.  

Komite pengurus C20 berperan sebagai penghubung antara masyarakat sipil dengan para pembuat kebijakan di G20, agar suara masyarakat dapat tersampaikan secara lebih efektif termasuk mengenai isu Perpajakan dan Keuangan Berkelanjutan yang diwadahi dalam Working Group Taxation & Sustainable Finance.  

WG Taxation & Sustainable Finance berperan melakukan advokasi melalui inisiasi, usulan, dan perumusan isu-isu/keijakan terkini khususnya pada perpajakan keuangan berkelanjutan.  

Prakarsa sebagai koordinator WG Taxation & Sustainable Finance, mengadakan diskusi tematik terkait isu peluang dan tantangan ekonomi digital dan potensi pajak digital di Indonesia. Dalam diskusi ini menghadirkan akademisi di bidang perpajakan dan ekonomi pembangunan dari Universitas Jember yaitu Aditya Wardhono, Ciplis Gema Qori’ah, dan M. Abd. Nasir. 

Dalam diskusi ini disampaikan bahwa perkembangan teknologi digital dan telekomunikasi berhasil mendorong transformasi yang cepat dalam praktik ekonomi global tanpa batas teritorial. Potensi digital di Indonesia berkembang semakin pesat yang ditandai dengan menjamurnya start-up dan platform digital semakin menguatkan proses transformasi kearah ekonomi digital.  

Transformasi digital ini akan berpengaruh terhadap inovasi, akselerasi, efisiensi, dan produktivitas masyarakat yang semakin beragam. Kontribusi start-up melalui unicorn dan decacorn terhadap PDB Indonesia dan penyerapan tenaga kerja terus berkembang. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia di tahun 2018, menyebutkan bahwa Gojek memberikan dampak ekonomi sebesar Rp44,2 triluin terhadap ekonomi nasional, disusul dengan unicorn lain seperti Tokopedia, Traveloka, OVO, dll. Digitalisasi ini memberikan manfaat diantaranya perdagangan yaitu melalui perdagangan digital dan manfaat sosial ekonomi melalui manfaat finansial, penciptaan kerja, keuntungan pembeli, dan kesetaraan sosial. 

Pesatnya perkembangan ekonomi digital ini tentunya harus disertai dengan perkembangan dalam bidang perpajakan. Perlu penguatan untuk isu pemungutan pajak di era digital atas transakasi yang melibatkan perdagangan barang dan jasa tidak berwujud.  

Pajak digital di Indonesia telah diatur dalam Pajak Penghasilan Badan (PPH Badan) dalam UU No. 2 Tahun 2000 dan Pajak Pertambahan Nilai melalui Permenkeu No. 48 Tahun 2020, yang mana sejak 1 Juli 2020 adanya pengenaan PPN 10% atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud/atas jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean atas perdagangan melalui sistem elektronik.  

Potensi dari adanya pajak digital diharapkan akan memberikan rasa keadilan, menciptakan level playing field dan kompetisi yang sehat serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, narasumber menyampaikan bahwa terdapat sejumlah permasalahan dalam pajak digital, diantaranya adanya praktik penghindaran pajak dan aliran keuangan gelap melalui praktik profit shifting, perusahaan online tidak melaporkan siapa yang akan diperiksa jika kantor perusahaan tersebut tidak berdomisili di Indonesia serta bagaimana penyelesaian sengketanya, adanya grey area dalam upaya pemajakan objek dan/atau perusahaan digital, terkait pengenaan pajak digital dan pajak penghasilan di Indonesia masih terlibat dalam negosiasi internasional untuk menghadapi tantangan mengenai pengenaan pajak tersebut. 

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.