Jakarta, The PRAKARSA – lembaga penelitian dan advokasi kebijakan – menjadi penanggap dalam peluncuran hasil kajian “Ketimpangan Gender dan Ekonomi dalam Politik Anggaran: Kajian dari Sudut Pandang Perpajakan dan Arus Uang Gelap” yang diselenggarakan oleh Aksi! pada Kamis (7/11/2024) di Kalibata, Jakarta Selatan. Acara ini menjadi momentum penting untuk membahas dampak kebijakan fiskal dan perpajakan terhadap ketimpangan ekonomi dan gender.
Hasil kajian yang dipresentasikan oleh Marhaini Nasution dan Rio Ismail dari Aksi! mengungkapkan bahwa kebijakan perpajakan di Indonesia masih berkontribusi pada ketimpangan gender dan ekonomi. Mereka menyoroti kerugian potensi pajak hingga USD 4,86 miliar per tahun akibat penghindaran pajak yang dilakukan korporasi besar, yang mengurangi anggaran untuk mendanai program sosial bagi perempuan dan kelompok marjinal.
“Ketidakadilan gender yang terjadi tidak terlepas dari struktur kebijakan fiskal yang masih memihak korporasi besar, sementara kelompok perempuan, terutama di sektor informal, terus menjadi korban dari kebijakan yang tidak inklusif,” ungkap Marhaini Nasution.
Rio Ismail menambahkan bahwa arus uang gelap (illicit financial flows) memperburuk ketimpangan dengan mengurangi anggaran yang seharusnya digunakan untuk mendukung program-program kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Samira Hanim, Peneliti The PRAKARSA menekankan bahwa dari taksonomi pajak menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam sistem pajak di Indonesia. Taksonomi pajak di Indonesia terdiri dari pajak penghasilan, pajak penjualan, dan pajak kepemilikan. Pengenaan Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP) berlaku bagi laki-laki namun tidak bagi perempuan yang bekerja, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12%, dan kepemilikan asset yang masih didominasi laki-laki. Hal ini karena laki-laki dinilai perannya sebagai kepala rumah tangga, yang akhirnya menjadi penyebab ketimpangan gender di dalam sistem perpajakan di Indonesia.
Samira menambahkan, di negara-negara berkembang lainnya, permasalahan tersebut sudah mendapatkan penanganan dari pemerintah, seperti di Singapura, di mana perempuan yang hamil dan melahirkan dibebaskan PTKP sebesar 2x lipat, di India dan Afrika diberlakukan kebijakan untuk membabaskan PPN bagi produk pembalut dan popok bayi, dan di Nepal telah diberlakukan Undang-Undang yang mengatur pembebasan pajak untuk mendukung kepemilikan properti bagi Perempuan.
Samira juga menambahkan bahwa pendekatan yang holidtik terhadap permasalahan ketimpangan gender menjadi hal yang perlu disoroti, terutama strategi peningkatan kapasitas perempuan dalam ekonomi formal, penguatan infrastruktur pendukung untuk perempuan, dan edukasi serta sosialisasi isu perpajakan kepada perempuan.
Penanggap lainnya, seperti Transparency International Indonesia (TII), Publish What You Pay Indonesia (PWYP), maupaun Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku penghindaran pajak dan pentingnya memastikan manfaat fiskal dirasakan oleh kelompok termarjinalkan. Selaras dengan rekomendasi dari hasil kajian termasuk pentingnya peningkatan alokasi anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan penyusunan kebijakan perpajakan yang lebih inklusif.
Acara ini menjadi capaian penting dari kolaborasi Forum Pajak Berkeadilan (FPB) Indonesia, di mana Aksi! bertindak sebagai pelaksana kajian dan anggota lainnya, termasuk The PRAKARSA dan CSO yang hadir sebagai bagian dari FPB berkomitmen untuk terus berkolaborasi untuk memperkaya diskursus public tentang pajak berkeadilan. Diskusi tersebut juga melibatkan berbagai unsur penting lainnya seperti organisasi perempuan, masyarakat adat, dan pemuda. Semua pihak sepakat bahwa reformasi fiskal yang berkeadilan mendesak untuk mengatasi ketimpangan gender dan ekonomi di Indonesia.
Acara ini menjadi momentum penting untuk perbaikan kebijakan fiskal, khususnya bagi kesejahteraan perempuan. “Masih ada ruang besar untuk memperbaiki kebijakan fiskal agar lebih inklusif dan berkeadilan,” tutup Samira.