KOMPAS.com – Peranan masyarakat sipil untuk aktif terlibat dalam tata kelola dana perantara keuangan atau financial intermediary fund (FIF) G20 krusial untuk pelaksanaan program mengantisipasi pandemi ke depan.
Sebagai informasi, negara G20 telah sepakat membangun mekanisme dana perantara keuangan untuk mengantisipasi pandemi di masa depan. Pendanaan patungan ini bagian dari penguatan arsitektur kesehatan global yang menjadi salah satu isu utama G20 2022.
Komitmen penggalangan FIF ditargetkan mencapai 12,5 miliar dolar AS dalam waktu lima tahun. Indonesia telah menyumbang 50 juta dolar AS.
Pendiri Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Saminarsih menyampaikan, peran vital masyarakat dibutuhkan sebagai watchdog atau penjaga untuk memastikan pengelolaan pembiayaan tetap bertanggung jawab, berkeadilan, berdampak optimal, dan berkelanjutan.
Diah berpendapat, masyarakat sipil belum tentu dilibatkan secara konkret dalam pengambilan keputusan tata kelola dana perantara keuangan yang dimonitori World Bank ini.
Hal itu disebabkan belum ada kesepakatan antar-penyumbang FIF atas hak suara bagi masyarakat sipil. Padahal, sambung Diah, masyarakat sipil punya bekal pengalaman, gagasan inovatif, sumber daya, pengetahuan, dan data.
“Pelibatan bermakna masyarakat sipil sangat krusial. Dari desain tata kelola FIF di tingkat global melalui penyediaan kursi dan kapasitas hak suara, sampai di tingkat nasional dan lokal untuk memperluas jangkauan dampak dan keberlanjutan program,” ujar Diah, di forum media briefing yang digelar daring, Kamis (1/9/2022).
Diah menyoroti, pembiayaan kesehatan global yang dibatasi kepentingan donor dan tidak parsipatif selama ini memiliki celah. Yakni, pembiayaan kerap tidak merepresentasikan kebutuhan negara penerima manfaat.
“Pelibatan masyarakat sipil memungkinan check and balances mulai dari proses perencanaan, implementasi, hingga perluasan jangkauan program. Masyarakat sipil juga berperan memastikan program tepat sasaran melalui pemantauan dan evaluasi di negara penerima manfaat,” terang dia.
Menurut Diah, pelibatan masyarakat sipil dalam tata kelola dana perantara keuangan sebelumnya efektif diterapkan dalam struktur Global Fund for AIDS, TB, & Malaria.
Inovasi dan rasa kepemilikan
Senada dengan Diah, Authorized Signatory Konsorsium Penabulu-Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Nurul Nadia Luntungan juga menyebutkan pentingnya peran komunitas masyarakat sipil dalam tata kelola pendanaan global kesehatan.
“Peran komunitas (masyarakat sipil) sangat penting. Mengingat pemerintah punya keterbatasan, masyarakat sipil memiliki kapasitas untuk memberikan input atau umpan balik dari temuan di lapangan,” jelas dia.
Nurul mencontohkan, salah satu upaya menekan angka TB resisten obat yang dilakukan organisasinya yakni dengan berinovasi tak sekadar mengedukasi pasien agar bersedia menjalani pengobatan sampai tuntas.
“Kami sadar di lapangan banyak temuan efek samping pengobatan ini berat dan kondisinya sulit. Jadi banyak pasien menyerah di tengah jalan, depresi, dan seterusnya. Untuk itu, kami coba menggandeng organisasi lain untuk memberikan gizi tambahan,” papar dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa dan Sherpa Civil 20 Indonesia, Ah Maftuchan meyakini, pelibatan masyarakat sipil dalam tata kelola FIF bakal berdampak positif untuk program pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons menghadapi pandemi ke depan.
Menurut dia, salah satu poin penting partisipasi publik dalam tata kelola dana perantara keuangan pandemi yakni rasa kepemilikan. Gotong royong ini terbukti efektif dalam pelaksanaan vaksinasi selama pandemi Covid-19.
“Kita sudah melihat, peran masyarakat sipil dalam vaksinasi Covid-19 sangat besar. Pemerintah hanya menyediakan vaksin dan nakes. Organisasi masyarakat bisa mengorganisir, memberikan makan dan minum, sampai lokasi vaksinasi. Kalau FIF bisa melibatkan masyarakat sipil, tentu akan lebih berdampak untuk penanganan pandemi,” kata dia.