The PRAKARSA – Wacana penyesuaian standar penghitungan kemiskinan moneter Indonesia kembali menghangat pasca rilis laporan penilaian kemiskinan terbaru dari Bank Dunia. Dalam laporan tersebut, salah satu poin utama ialah perlunya penyesuaian definisi kemiskinan Indonesia agar sepadan dengan status pendapatan negara. Sebagai calon negara berpenghasilan menengah ke atas, Indonesia memiliki konsekuensi untuk meningkatkan garis kemiskinan ekstrim menjadi standar paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP) sebesar 3,2 dolar AS untuk per orang per hari.
Saaat ini acuan lama standar PPP kemiskinan ekstrim masih sebesar 1,9 dolar AS per orang per hari. Standar lama ini sendiri sudah bertahan selama 25 tahun dan kini pemerintah dituntut untuk menindaklanjuti acuan standar baru agar pengukuran kemiskinan Indonesia dapat lebih relevan menggambarkan kondisi riil masyarakat.
Peneliti PRAKARSA, Rizky Deco Praha menuturkan, pemerintah secara rasional akan sangat hati-hati mengkaji hal tersebut mengingat implikasi yang ditimbulkan sangat berdampak selain pada capaian pemerintahan Presiden Joko Widodo, juga alokasi anggaran bantuan sosial dan citra politik.
Melalui rilis BPS, capaian pemerintah selama ini identik dengan penurunan angka kemiskinan menjadi hanya satu digit, sebesar 9,57% atau 26,4 juta orang pada September 2022. Bank Dunia menyebut standar versi baru meningkatkan jumlah orang miskin tersebut menjadi 44 juta orang.
“Hal ini tentu secara langsung juga meningkatkan anggaran bantuan pemerintah dengan sangat signifikan. Selain itu, jika dilakukan pemerintah saat ini, penyesuaian ini berpotensi besar akan menjadi perseden buruk pemerintahan sekarang di tahun yang sarat politik,” kata Deco. Jumat (19/5).
Lebih jauh Deco menjelaskan, pemerintah perlu menitikberatkan bahwa meski dengan penetapan standar baru yang lebih tinggi ini, Indonesia sebenarnya telah melakukan banyak kemajuan dalam penanganan masalah kemiskinan. Dengan kalibrasi data menggunakan standar 3,2 dolar AS (paritas daya beli 2011), Bank Dunia menyebut kemiskinan telah menurun sekian persen dari 61 persen pada tahun 2002 menjadi hanya 16 persen pada tahun 2022.
“Peningkatan konsumsi dalam negeri telah mendorong pengentasan kemiskinan dalam dekade terakhir, berkontribusi terhadap pertumbuhan lapangan kerja di pasar tenaga kerja yang ketat dan peningkatan upah riil,” jelas Deco.
Menurut Deco, saat ini memang diperlukan penyesuaian garis kemiskinan meski tidak setinggi standar rekomendasi Bank Dunia. “Pemerintah dapat mempertimbangkan aspek perbedaan tingkat biaya hidup dan kondisi perekonomian dalam negeri, sehingga acuan tingkat kemiskinan mungkin bisa diupayakan pada kisaran 2,5 dolar AS atau sekitar 37 ribu rupiah per orang per hari,” katanya.
Alasannya, kata Deco, selain pertimbangan ekonomi cukup rasional dan telah relatif progresif, setidaknya ini dapat mengurangi pembengkakan alokasi anggaran bantuan sosial dan sedikit meredam gejolak sosial-politik yang mungkin akan terjadi.
“Di lain sisi, penghitungan kemiskinan menggunakan standar garis kemiskinan berdasarkan aspek pengeluaran individu saja kini dianggap tidaklah cukup. Dalam kerangka kebijakan berbasis bukti, penanggulangan kemiskinan yang hanya berdasarkan hitungan moneter semata justru mengkerdilkan definisi dan skala kemiskinan itu sendiri. Hal yang dikhawatirkan, ini akan berimplikasi pada fokus kebijakan dan program pemerintah yang cenderung bersifat jangka pendek dan kurang tepat sasaran. Selebihnya, saat ini telah sering timbul sejumlah masalah klasik diantaranya seperti ketergantungan masyarakat miskin atas bantuan pemerintah dan adanya moral hazard dalam pendataan dan pemanfaatan oleh keluarga penerima manfaat,” jelas Deco.
Deco menambahkan, sebagai masalah multidimensi, kemiskinan idealnya perlu dihitung dan diatasi dengan cara yang simultan dan berkelanjutan. Sejak dicetuskan pada 2010 oleh OPHI dan UNDP, konsep kemiskinan multidimensi global yang mencakup dimensi pendidikan, kesehatan, dan standar hidup telah berkembang dan mencakup setidaknya 100 negara di dunia, baik negara maju ataupun negara berkembang, dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
“Sedangkan aspek moneter pengeluaran keluarga terkadang menjadi salah satu dari belasan indikator yang diestimasi, dalam kemiskinan multidimensi nasional beberapa negara,” katanya.
Di Indonesia, hasil penghitungan kemiskinan multidimensi nasional yang dilakukan oleh PRAKARSA menyebut tingkat kemiskinan telah menurun secara drastis dari tahun 2012 yang sebesar 49 persen menjadi sebesar 14,3 persen pada 2021. Memanfaatkan 5 dimensi dan 11 indikator dari data Susenas yang dirilis tahunan oleh BPS, indikator seperti tingkat morbiditas, akses minum layak, dan tempat tinggal layak menjadi indikator dengan tingkat kemiskinan tertinggi sekaligus perlu menjadi fokus pemerintah pusat. Secara wilayah, bagian timur Indonesia seperti provinsi Papua, NTT, dan Maluku Utara memiliki indeks kemiskinan multidimensi tertinggi.
Beriringan dengan rilis Bank Dunia, menurut Deco, upaya menurunkan tingkat kemiskinan baik secara moneter dan multidimensi di Indonesia ini nyatanya telah berjalan menuju arah yang tepat. Pemanfaatan dua pendekatan ini bisa saling melengkapi sehingga memudahkan prioritas kebijakan dan anggaran pemerintah. “Pemerintah baik pusat dan daerah tentu telah menyediakan serangkaian intervensi untuk dapat menurunkan tingkat kemiskinan, tapi menyusun prioritas secara lebih efektif dan efisien kini sangat diperlukan dan harus menjadi perhatian utama,” katanya. Terakhir, Deco berpendapat, bagaimanapun aspek pengentasan kemiskinan tidak serta merta dijadikan poin pertama target pembangunan berkelanjutan global oleh PBB. Meski tanpa ada hierarki antar poin-poinnya, poin nomor satu ini seharusnya menyiratkan bahwa pengentasan kemiskinan adalah poin prioritas utama dan muara dari poin-poin tujuan pembangunan yang lain. “Oleh karena itu, kemiskinan multidimensi menemukan relevansinya untuk digunakan sebagai bukti baru dalam bahan penyusunan kebijakan pengentasan kemiskinan oleh pemerintah pusat hingga level desa di Indonesia,” tutup Deco.