Pertumbuhan Lewat Pemerataan

Mekanisme redistribusi dan dorongan ekonomi rakyat senilai lebih dari Rp 100 triliun melalui mudik Lebaran telah usai. Ekonomi pun kembali ke sediakala. Ekonomi dunia masih kempis, apalagi pasca ”Brexit”, membuat agregat permintaan dan harga komoditas malas beranjak. Pelaku ekonomi kini cenderung menahan ekspansi, wait and see.

Sebagai negara yang memiliki keterkaitan tinggi pada komoditas, Indonesia terkena dampak kelesuan ini. Gerak roda ekonomi berjalan lambat, diindikasikan dari kesenjangan penerimaan pajak. Di Yogyakarta, misalnya, ekonomi retail sebelum Lebaran memperlihatkan penurunan drastis. Para pedagang Malioboro mengeluhkan lesunya penjualan yang turun hingga 40 persen. Di wilayah lain, kemungkinan mengalami hal sama dengan derajat berbeda.

Pemerintahan Jokowi berusaha menghela ekonomi dengan pembangunan infrastruktur dan kebijakan deregulasi. Hal itu penting, tetapi apabila tanpa dilengkapi kebijakan lain, akan terjadi sequencing error (kekeliruan penahapan). Dampak pembangunan infrastruktur serta deregulasi berjangka waktu menengah, sementara problem lesunya ekonomi riil adalah persoalan kekinian. Keterlepaskaitan kebijakan (policy mismatch) untuk mengatasi persoalan mendesak akan berujung kefrustrasian masyarakat. Ketidakpuasan mudah menyebar dan berisiko menggerus kepercayaan (trust) sebagai modal penting pembangunan.

”Marshall Plan” dan ”Jokowi Plan”

Eropa mengalami masa kelam tahun 1940-an saat Perang Dunia II. Setelah kehancuran akibat pertempuran dahsyat, Amerika melalui European Recovery Program atau disebut ”Marshall Plan” membantu membangun dan merestorasi Eropa Barat. Program raksasa yang kini setara Rp 1.500 triliun itu ditujukan mengatasi kelaparan, kemiskinan, keputusasaan, dan kerusuhan yang menghantui.

Marshall Plan adalah realisasi pemikiran ekonom John Maynard Keynes untuk menggenjot agregat permintaan. Pemikiran itu berlawanan dengan keyakinan klasik ”penawaran dengan sendirinya menciptakan permintaan” (supply creates its own demand). Ternyata Keynes benar, program selama 1948-1952 itu mendorong pertumbuhan ekonomi tercepat sepanjang sejarah Eropa Barat. Industri melejit 35 persen, produksi pertanian melampaui era sebelum perang. Kelaparan lenyap, kemiskinan turun drastis.

Mengambil pelajaran Marshall Plan, ”Jokowi Plan” yang mendorong pembangunan infrastruktur dan debirokrasi masih perlu dilengkapi stimulus untuk mendorong agregat permintaan. Injeksi fiskal sangat diperlukan karena ekonomi dunia dan nasional masih mengalami lesu darah. Meski celah fiskal (fiscal space) kini sempit, melalui reprioritasi dan realokasi anggaran ini bukanlah hal sulit.

Melalui stimulus fiskal yang tepat, tidak hanya pertumbuhan yang bisa didorong, tetapi kemiskinan dan ketimpangan sekaligus bisa diatasi. Kunci dari stimulus ini adalah mendorong daya beli masyarakat bawah dan sekaligus mengusahakan semua orang bekerja (full employment). Dengan demikian, paket Jokowi Plan bersifat menyeluruh, berdaya ungkit menggerakkan ekonomi kekinian, dan berefek bola salju mendorong ekonomi jangka menengah.

Di awal pemerintahan Jokowi menyampaikan program Indonesia Kerja, tetapi hingga kini belum menemukan bentuk solid. Program 100 hari kerja (public works) di India bisa dijadikan referensi. Pada dasarnya program ini memberikan kesempatan keluarga miskin di desa bekerja dan memperoleh pendapatan. Pekerjaan yang dilakukan meliputi pengerjaan infrastruktur desa, misalnya perbaikan sarana pengairan (dam, kanal, saluran irigasi, sungai), jalan, jembatan, serta pekerjaan infrastruktur lain.

Sejak program pemenuhan hak bekerja (rights to work) itu diluncurkan pada 2006, sekitar 12 miliar hari orang kerja (person-days) telah dihasilkan dan setara sekitar Rp 300 triliun upah dibayarkan. Program ini menjangkau 50 juta keluarga atau 200 juta orang setiap tahun. Dampak lainnya, infrastruktur desa menjadi lebih baik, aset produktif dan produktivitas pertanian meningkat. Lebih dari itu, kemiskinan, ketimpangan, dan urbanisasi menurun, serta sekaligus memberdayakan perempuan dan meningkatkan nutrisi anak.

Pengalaman India dapat diadaptasikan dengan program Indonesia Kerja, tahap pertama diimplementasikan di desa dan jika perlu diekspansikan ke kota. Kerja padat karya di desa dilakukan hanya pada waktu off season, di luar masa tanam dan panen. Saat itu, karena tak ada pekerjaan, penduduk desa ke kota bekerja serabutan di sektor informal, public works akan membuat penduduk beraktivitas di desa.

Upah public works didesain sedikit lebih rendah dari pasar tenaga kerja wilayah bersangkutan agar tak terjadi perebutan tenaga kerja. Nilai upah akan menapis sendiri, public works hanyalah transisi untuk mereka yang tak punya pilihan lain. Ketika penduduk desa tak lagi mengikuti program karena mendapat pekerjaan lebih baik, itu berarti ekonomi kian kondusif.

Berdasar kalkulasi 60 persen penduduk miskin di desa, penduduk miskin perdesaan berjumlah 17 juta orang (4,25 juta keluarga). Upah nominal buruh tani nasional mendekati Rp 50.000 per hari, dengan asumsi 80 persen dari besaran itu, maka upah public works adalah Rp 40.000 per hari. Kebutuhan total anggaran hanya Rp 17 triliun, jauh lebih kecil daripada redistribusi rakyat melalui ekonomi mudik dan sangat dimungkinkan dari realokasi dana desa.

Berbeda dengan kelompok masyarakat yang berpenghasilan tinggi, orang miskin akan segera membelanjakan pendapatan yang diterima. Konsumsi tersebut akan menggerakkan ekonomi desa dan sekaligus membantu menggulirkan ekonomi nasional. Dampak selain permintaan agregat terciptakan, ini akan berefek ganda mengurangi kemiskinan, ketimpangan, dan urbanisasi sekaligus.

Pintar dan produktif

Dari analisis skeptis, kunci keberhasilan Marshall Plan dinilai bukan dari program masif itu, melainkan bangsa Eropa Barat memang telah siap dan produktif. Marshall Plan hanya menginjeksi modal yang saat itu sangat dibutuhkan. Mengambil pelajaran tersebut, meskipun dorongan permintaan agregat terjadi tetapi tak cukup. Dalam konteks Indonesia, juga diperlukan tingkat kesiapan level tertentu agar program Indonesia Kerja, infrastruktur, dan debirokrasi lebih optimal.

Pembangunan infrastruktur kini terlalu terfokus pada infrastruktur keras (hard infrastructure), tetapi infrastruktur lunak (soft infrastructure) seperti kesiapan sumber daya manusia (SDM) terabaikan. Makna pendidikan seharusnya juga diperluas pada pengembangan soft infrastructure. Besaran anggaran pendidikan mandatori sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (sekitar Rp 400 triliun) seharusnya tidak terlalu sulit untuk direalokasikan. Penawaran yang menciptakan permintaan dengan sendirinya (supply creates its own demand) pada akhirnya akan terjadi di jangka menengah, setelah infrastruktur terbangun, kebutuhan tenaga kerja akan melejit.

Tol Trans-Jawa bakal membuat industri berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena upah minimum regional (UMR) lebih rendah. Perbaikan pelabuhan, tol laut, bandara, jalan, dan sarana transportasi akan mengakselerasi mobilitas barang, manusia, bahkan turisme. Industri di luar Jawa juga akan berkembang.

Pembelian kapal secara masif dan ketegasan terhadap pencurian ikan membuat tangkapan ikan melonjak, hilirisasi industri perikanan akan menjadi kebutuhan. Pembangunan serta perbaikan dam dan infrastruktur irigasi akan membuat produktivitas pertanian meningkat, maka industri off farm perlu ditingkatkan. Pertanyaannya, berapa banyak tenaga kerja dibutuhkan di tiap sektor tersebut, lalu keahlian spesifik apa yang diperlukan dan sudah siapkah kita?

Kebutuhan tak bisa menunggu, program Indonesia Pintar perlu diperluasdengan pendidikan nonformal untuk keterampilan dan produktivitas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengalkulasi kebutuhan tenaga kerja melalui kerja sama dengan kementerian terkait, misalnya ketenagakerjaan, industri, kelautan, pariwisata, pertanian, dan dunia usaha. Untuk memenuhi tenaga kerja terampil secara cepat, tidak semua harus dikerjakan pemerintah sendiri, bisa melalui program pemagangan atau melibatkan lembaga pendidikan keterampilan swasta.

Lembaga pendidikan swasta yang memenuhi kualifikasi disubsidi bertahap, pelunasan subsidi hanya dilakukan berdasar peserta yang lulus sertifikasi keahlian terkait. Melalui pendekatan ini, kebutuhan tenaga kerja dengan keahlian tertentu secara masif dapat dihasilkan, tetapi tetap menjaga kualitas.Crash program ini sangat penting mengingat mobilitas tenaga kerja telah terintegrasi dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ketidaksiapan Indonesia artinya tenaga kerja diisi negara tetangga.

Pelaksanaan program jangka pendek dan menengah serta simultan mengerjakan soft infrastructure adalah strategi total football. Melalui fasilitasi kebijakan dan alokasi fiskal, masyarakat didorong agar sibuk beraktivitas dan produktif dengan bekerja, sekolah, atau mengikuti training. Injeksi fiskal melalui public works di desa sangat penting untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan, sekaligus mendorong efek pengganda.

Dorongan dari bawah secara masif akan membantu roda ekonomi bergerak. Dalam jangka menengah, ketika infrastruktur terbangun dan industri berkembang, kebutuhan tenaga kerja bisa dipenuhi karena telah dipersiapkan. Akhirnya, bukan hanya pertumbuhan 7 persen dapat tercapai, sekuensi ekonomi itu juga membuat pertumbuhan melalui pemerataan dapat diwujudkan, ekonomi tumbuh dengan keadilan. Janji Nawacita Jokowi membangun dari pinggiran dan berkeadilan akan tergenapi.

Strategi komprehensif ini makin mendesak apalagi setelah program pengampunan pajak disahkan. Repatriasi dana ribuan triliun rupiah warga superkaya dipastikan akan memperburuk kesenjangan, berisiko kecemburuan sosial mudah tersulut. Oleh karena itu, program yang berdampak pada rakyat banyak perlu segera dijalankan.

*) SETYO BUDIANTORO, PENELITI SENIOR PERKUMPULAN PRAKARSA DAN KOMISIONER PENGAWAS KOMISI ANGGARAN INDEPENDEN (KAI)

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.