Jakarta, The PRAKARSA – Peluncuran Taksonomi Hijau Indonesia awal 2022 lalu dilakukan saat Indonesia mendeklarasikan komitmennya untuk transisi energi bersih. Energi merupakan sektor pembangunan yang berkontribusi paling besar terhadap emisi gas rumah kaca nasional di Indonesia, yaitu 39%, dimana nilai emisi karbonnya setara dengan 450 juta CO2 lebih per tahunnya (BPS, 2000 – 2019, ESDM 2022). Komitmen Indonesia dalam Peta Jalan Transisi Energi pada tahun 2060 setidaknya melingkupi dua aspek. Pertama, aspek infrastruktur, kedua adalah pendanaan. Dari sisi infrastruktur, Indonesia berencana untuk memberhentikan secara dini operasional 33 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan dasar batu bara. PLTU yang diusulkan akan menjalani ‘pensiun dini’ tersebut antara lain PLTU Cirebon, Pelabuhan Ratu dan Paiton. Dari sisi pendanaan terdapat dalam bentuk obligasi hijau (green bond) ataupun instrumen pembiayaan campuran seperti fasilitasi dukungan pendanaan dari pihak swasta, swasta, industri jasa keuangan serta filantropi untuk program transisi energi seperti yang diusung dalam Energy Transition Mechanism (ETM).
Kemudian, awal September ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk merevisi THI dengan mengikutsertakan PLTU batu bara yang dalam proses transisi energi dalam bentuk pengakhiran dini termasuk kelompok yang dapat diberikan pembiayaan berkelanjutan. Dalam rencana revisi tersebut, PLTU captive power dapat masuk dalam kategori hijau jika sedang dalam proses transisi energi.
Salah satunya adalah memasukkan aktivitas/sektor terkait PLTU captive power ke dalam kategori ‘hijau’ jika memenuhi beberapa ketentuan. Misalnya, jika digunakan dalam kerangka kerja Just Energy Transition Program (JETP)/ETM atau untuk mendukung manufaktur produk ‘ramah lingkungan’.
Peneliti Keuangan Hijau Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Muhammad Aulia Anis membandingkan Taksonomi Hijau Indonesia dengan negara-negara lain masih kalah progresif, dan bahkan mengalami kemunduran dengan adanya rencana memasukkan PLTU sebagai kategori hijau.
“Jika menilik taksonomi China yang sudah hadir sejak 2015, clean coal atau batubara bersih memang sempat masuk kategori green project namun akhirnya dihapus pada 2021. Kemudian taksonomi milik Thailand sudah memasukkan PLTU ke dalam kategori merah. Bahkan taksonomi dari European Union (EU) meminta PLTU untuk segera pensiun dini sebagai komitmen terhadap net zero emission (NZE) 2050,” kata Aulia dalam Diskusi Media Taksonomi Hijau Indonesia dan Transisi Energi Berkeadilan. Pada Kamis (2/10).
Selain itu, Aulia melihat rencana revisi THI ini menunjukkan inkonsistensi Indonesia dalam upaya transisi energi. Meski taksonomi hanya salah satu komponen dari transisi energi Indonesia, namun THI merupakan referensi dan acuan untuk pengambilan keputusan dalam portofolio investasi sektor keuangan.
Program Manager PRAKARSA Herni Ramdlaningrum menjelaskan portofolio pembiayaan energi oleh perbankan di Indonesia saat ini masih sangat besar terhadap sektor energi fosil dengan total pembiayaan mencapai US$25 miliar antara tahun 2016 hingga Juni 2022. Padahal, pemerintah seharusnya mendorong lembaga jasa keuangan (LJK) termasuk perbankan untuk berkontribusi dalam pembiayaan proyek hijau, pembangunan berkelanjutan, fasilitasi perdagangan karbon, penerbitan green bond atau skema pembiayaan lainnya seperti green sukuk atau green climate fund.
“Rencana transisi energi Indonesia memerlukan investasi yang signifikan sekitar US$225 miliar, sedangkan Program Transisi Energi Bersama (JETP) saat ini hanya menawarkan US$20 miliar. Dengan minimnya investasi ini, terdapat risiko pembiayaan jika perbankan tidak segera menghentikan investasi pada energi kotor. Pertama, risiko fisik berupa dampak lingkungan fisik dan aset perbankan akibat terlambat meraih net zero emission. Kedua, risiko transisi, artinya jika perbankan tidak segera melakukan mitigasi maka mereka akan sulit untuk mendapatkan lingkungan bisnis yang mendukung,” tuturnya.
Sementara itu, Communications 350 Indonesia Firdaus Cahyadi menyebutkan terdapat jalan ketiga dalam pendanaan transisi energi melalui bank-bank lokal. Namun, menurut riset 350 Indonesia bersama koalisi #BersihkanBankmu, bank-bank lokal terlebih BUMN, masih mendanai PLTU batubara. Misalnya Mandiri masih berinvestasi sebesar US$3,1 miliar, BRI senilai US$122 juta, dan BNI US$53 juta. “Bank-bank nasional, terutama BUMN, bisa menjadi sumber pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan. Namun, bank-bank tersebut masih memilih mendanai energi fosil. Revisi Taksonomi Hijau Indonesia yang progresif bisa jadi pintu masuk untuk mengarahkan bank-bank nasional mendanai energi terbarukan dan menekan pendanaan energi fosil. Bukan justru revisi memasukkan PLTU captive power menjadi kategori hijau,” tegas Firdaus.