ResponsiBank Indonesia Desak Perbankan Hentikan Pembiayaan PLTU Cirebon Unit 2

ResponsiBank – Koalisi ResponsiBank Indonesia yang terdiri atas 13 organisasi mayarakat sipil di Indonesia, yakni PRAKARSA, WALHI, PWYP Indonesia, Auriga Nusantara, KPI, PEKKA, ICW, Lokataru Foundation, INFID, INDIES, Kemitraan dan YLKI Bersama dengan Koalisi Fair Finance Belanda telah mengirimkan berbagai keluhan kepada pihak perbankan yang membiayai proyek PLTU Cirebon. Koalisi ResponsiBank memandang perbankan sebagai penyandang dana memiliki tanggungjawab untuk memastikan pembiayaan dan investasinya tidak mencederai aspek lingkungan, sosial maupun tata kelola. Selasa (24/1/2023).

Upaya ini dilatarbelakangi oleh dampak multisektor yang ditimbulkan oleh PLTU terhadap masyarakat sekitar serta tidak sejalannya dengan komitmen Paris Agreement yang tertuang pada dokumen NDC 2030 tentang pengurangan emisi karbon. “Kami nelayan dan petani tidak dapat melakukan budidaya ikan maupun udang karena air laut yang tercemar, saluran air yang tertutup, dan polusi dari pembakaran batu bara untuk kegiatan operasional PLTU. Produksi garam juga menurun karena terhambatnya aliran air laut dan dampak pencemaran laut,” kata Moh Aan Anwarudin, Ketua Komunitas Rakyat Penyelamat Lingkungan (RAPEL) Cirebon.

Hal ini kemudian menjalar pada dampak sosial dan ekonomi masyarakat sekitar pesisir dimana pendapatan masyarakat menurun sejak dibangunnya proyek PLTU. Pembangunan PLTU ini juga menimbulkan konflik sosial karena adanya masyarakat yang pro dan kontra terhadap proyek pembangunan PLTU.

Dalam mendukung data dan informasi terkait dampak yang dialami oleh masyarakat, Koalisi ResponsiBank Indonesia melakukan penelusuran investor maupun lembaga jasa keuangan yang membiayai proyek PLTU 1 dan 2 Cirebon. Proyek tersebut sejak pendiriannya telah mendapatkan dukungan dana dari ING Bank, JBIC Japan, Export-Import Bank of Korea (KEXIM), The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ, Ltd, Mizuho, Sumitomo Mitsui Banking Cooperation. Praktik pembiayaan bank tersebut diyakini melanggar norma internasional seperti Equator Principles, IFC Performance Standards, UN Global Compact, dan OECD Guidelines for Multinational Enterprises. Responsibank menyasar ING sebagai lead konsorsium penyandang dana proyek sebagai target advokasi. Pembiayaan ING bank pada proyek PLTU tersebut mencapai USD124, 55 juta. Selain itu, WALHI secara resmi juga telah mengajukan keluhan kepada JBIC sebagai penyandang dana terbesar proyek ini yang mencapai USD 730,8 juta.

Diawali pada 2016, Koalisi ResponsiBank Indonesia telah mengirimkan keluhan kepada ING karena pembiayaan Pembangkit Listrik Batubara Cirebon 2. Pada tanggal 12 Januari 2018, ING menanggapi dengan penjelasan tentang bagaimana mereka telah meningkatkan kebijakan umum batu bara pada tahun 2015 dan 2017. ING mengklaim proyek yang mereka biayai sudah patuh dengan Equator Principles dan IFC Performance Standard.

“Tuntutan kami saat itu jelas untuk meminta ING menjelaskan kepada publik langkah-langkah tepat apa yang telah dilakukan bank untuk mencegah perusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh PLTU Cirebon Unit 1 dan PLTU Cirebon Unit 2. Kami juga meminta ING untuk menjelaskan kepada publik langkah-langkah tepat apa yang diambil bank untuk mencegah korupsi dan langkah apa yang diambil ING setelah mengetahui perolehan izin lingkungan PLTU Cirebon Unit 2 diperoleh dengan suap pejabat. Apabila ING tidak bersedia atau mampu memberikan jawaban yang konkrit dan mendalam atas apa yang ResponsiBank minta dalam pengaduan tahun 2017 dan 2018, dan dalam pertanyaan 1 dan 2: ING harus menghentikan pembiayaan PLTU Cirebon 2,” tegas Ah Maftuchan, Koordinator Koalisi ResponsiBank Indonesia.

Proses advokasi yang dilakukan Responsibank menghasilkan pertemuan antara perwakilah masyarakat Cirebon terdampak PLTU dengan ING perwakilan Belanda dan Singapura pada pada Juni 2022, namun pertemuan tersebut tidak menghasilkan kejelasan solusi yang diharapkan masyarakat. ING bahkan bersikap tidak transparan dan cenderung melemparkan tanggungjawab pada pengelola proyek PLTU. Padahal sebagai investor proyek, ING wajib turut bertanggungjawa atas dampak negatif yang dirasakan masyarakat.

Koalisi ResponsiBank Indonesia menyampaikan adanya ketidakefektifan mekanisme keluhan yang dimiliki ING. ING terlihat tidak memantau efektivitas mekanisme pengaduan di Cirebon. Karena perusahaan tidak pernah mengkomunikasikan keberadaan mekanisme pengaduan yang dapat diakses atau digunakan oleh masyarakat. Selain itu, ING juga sangat sangat yakin dengan efektivitas mekanisme pengaduan perusahaan, dan menyatakan bahwa keputusan ING uintuk mendanai proyek adalah karena perusahaan telah melalui langkah-langkah sesuai standar dalam mengelola risiko proyek.

Koalisi ResponsiBank juga menilai bahwa ING tidak memperhitungkan informasi apa pun yang bersumber dari eksternal. Hal ini bertentangan dengan proses uji tuntas sesuai dengan pedoman OECD yang menyatakan dengan jelas bahwa setiap proses uji tuntas harus diinformasikan melalui keterlibatan dengan pemangku kepentingan dan dengan memeriksa sumber eksternal.

Kasus ketidakpatuhan terhadap hukum/korupsi juga melingkupi pembangunan PLTU. Terkini, KPK telah menetapkan General Manager Hyundai Enginering Construction (HDEC), Herry Jung sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan proyek PLTU 2 Cirebon. Dugaan suap diberikan kepada mantan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra sebesar Rp 6,04 miliar dari janji awal Rp 10 miliar yang saat ini telah ditahan KPK. Suap berkaitan dengan perizinan PT. Cirebon Energi Prasarana yang menggarap PLTU tersebut. ING menyatakan dalam pertemuan tersebut bahwa teknologi ultra-supercritical telah diterapkan, yang diyakini sebagai teknologi terbaik dan paling efisien untuk pembangkit listrik tenaga batu bara untuk mengurangi emisi. Padahal teknologi ini tidak digunakan dalam operasional PLTU Cirebon 1 yang terus mencemari udara dan air masyarakat sekitar dengan teknologi yang sudah ketinggalan zaman.

ING menyebutkan selama pertemuan bahwa tidak ada data yang jelas tentang dampak sosial, sementara hal ini adalah kewajiban ING untuk memeriksa dan memverifikasi informasi dari sumber eksternal (berita, dll) mengenai dampak. Hal ini berkebalikan dengan fakta ING yang menyebutkan telah melakukan studi selama 2 tahun sebelum membiayai proyek tersebut. Mengapa ING tidak memastikan ada cukup data tentang dampak sosial?

Selain itu, terdapat beberapa pertanyaan yang belum terjawab oleh ING selama rapat, seperti langkah tindak lanjut untuk mengatur pertemuan dengan semua bank pemberi pinjaman yang difasilitasi oleh ING, investigasi lebih lanjut oleh tim independen, maupun transparansi proses penanganan keluhan.

Lebih lanjut, PLTU Cirebon unit 1 telah ditetapkan menjadi pilot project skema Energy Transition Mechanism ADB. Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional WALHI menyampaikan, “Secara umum kami menyetujui pensiun dini PLTU cirebon 1. Secara langsung ini pengakuan pemerintah indonesia, ADB dan pemilik project bahwa PLTU ini mengakibatkan perubahan iklim. Tetapi proses ETM ADB berada dalam ruang gelap tanpa partisipasi mereka yang terdampak dari operasi PLTU. Bahkan mereka tidak ada di dalam daftar pihak yang diundang dalam konsultasi publik. Bagaimana bisa transisi berkeadilan sedangkan mereka yang terdampak tidak diajak berdialog,” katanya.

Melihat terus berkembangnya kesepakatan global tentang transisi hijau dan rencana jangka panjang pembangunan yang mengarah pada aspek aspek berkelanjutan, kami mendorong beberapa hal sebagai berikut:

  1. Berdasarkan pedoman UNGP, jelas tercantum bahwa ketika dampak terjadi, pihak-pihak yang terkait termasuk sektor perbankan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab dalam mengatasi dampak tersebut, termasuk dengan berfokus pada menenggapi keluhan secara serius, pemulihan kerugian yang dialami dan langkah untuk keluar dari persoalan yang ditimbulkan.
  2. Mengalihkan setiap alur investasi dan pembiayaan pembangunan PLTU yang sedang berjalan dan yang telah direncanakan menjadi pembangunan pembangkit Energi Terbarukan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
  3. Melibatkan masyarakat setempat sebagai mitra utama dalam setiap pembangunan berkelanjutan.
  4. Melakukan pemulihan lingkungan dan ekonomi kemasyarakatan sebagai bentuk tanggung jawab dan upaya mencapai target iklim di Indonesia.
  5. Meningkatkan aspek regulasi yang mengatur pembiayaan dan pembangunan berkelanjutan

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.