
Milan, Italia, The PRAKARSA – ResponsiBank Indonesia bersama jaringan Fair Finance Asia (FFA) lainnya menyelenggarakan forum diskusi yang bertepatan pada 58th Asian Development Bank (ADB) Annual Meeting, yang berlangsung di Kota Milan, Italia, pada 4-7 Mei 2025. Pada kesempatan ini ResponsiBank Indonesia menyoroti dampak riil pertambangan mineral kritis terhadap masyarakat dan lingkungan, sekaligus mendorong transisi energi yang berkeadilan.
Dalam sesi diskusi bertajuk Critical Minerals and ADB’s CM2CET: Perspectives from Civil Society and Frontline Communities, Dwi Rahayu Ningrum memaparkan temuan lapangan yang mengungkap kompleksitas industri nikel Indonesia. Studi ResponsiBank menunjukkan bagaimana investasi besar-besaran dari China telah mengubah lanskap ekonomi dan sosial di wilayah pertambangan.
“Di balik narasi pertumbuhan ekonomi, kami menemukan nelayan yang kehilangan mata pencaharian, masyarakat yang kesulitan mengakses air bersih akibat pencemaran, serta praktik eksploitasi tenaga kerja yang masih marak,” jelas Dwi.
Ironisnya, meski nikel dipromosikan sebagai mineral hijau pendukung transisi energi, operasionalnya masih bergantung pada pembangkit batubara.
Persoalan ini mendapat tanggapan serius dari peserta forum, termasuk perwakilan masyarakat adat Malaysia dan Mongolia yang berbagi pengalaman serupa. Jun Rubis dari Indigenous Peoples Network of Malaysia (JOAS) menggambarkan bagaimana proyek pertambangan Silica di Sarawak mengancam keberlangsungan hidup komunitas lokal.
Sementara itu, Sukgherel Dugersuren dari OT Watch Mongolia mengkritik lemahnya implementasi prinsip FPIC dalam proyek-proyek ADB.
Selama empat hari pertemuan, ResponsiBank terlibat aktif dalam berbagai diskusi strategis. Termasuk saat melakukan pertemuan dengan presiden ADB, Masato Kanda. Pada kesempatan ini Dwi menyampaikan bahwa ADB perlu mengambil langkah nyata dalam menjalankan transisi energi yang benar-benar adil dan berkelanjutan, termasuk pada aspek kesetaraan gender di Asia, khususnya dalam proyek percontohan Energy Transition Mechanism (ETM) di PLTU Cirebon 1, Indonesia.
“ADB harus menunjukkan tindakan konkret, bukan hanya niat baik,” ujar Dwi. Ia menekankan bahwa strategi ADB selama ini masih kurang dalam implementasi nyata, terutama dalam menjadikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai pilar utama dalam seluruh proyek transisi energi yang didanai oleh ADB, hingga partisipasi menyeluruh dan bermakna dari masyarakat terdampak.
Menurutnya, ADB perlu memastikan bahwa penggunaan data terpilah menurut gender dan pelaksanaan penilaian dampak sosial yang kuat bukan hanya sekadar formalitas, melainkan menjadi mekanisme yang terukur dan sistematis di setiap proyek.
Terkait dengan strategi Critical Minerals for Clean Energy Transition (CM2CET) yang tengah dikembangkan ADB, Dwi juga menekankan pentingnya uji tuntas hak asasi manusia dan evaluasi dampak lingkungan yang kerap terjadi dalam rantai pasok mineral kritis.
“ADB harus menjamin adanya konsultasi yang transparan dan pelaksanaan prinsip Free, Prior, and Informed Consent secara wajib kepada masyarakat terdampak,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa strategi ini tidak boleh hanya menjadi ambisi di atas kertas, melainkan harus diwujudkan dalam tindakan tegas yang melindungi hak dan lingkungan masyarakat lokal.
Terakhir, Dwi mengingatkan ADB bahwa transisi energi yang adil tidak bisa hanya dibicarakan, melainkan harus dijalankan dengan berpusat pada masyarakat, tidak menyertakan solusi palsu, dan diiringi transparansi dan akuntabilitas.