ThePRAKARSA – Indonesia dinilai telah banyak mencapai kemajuan di bidang regulasi keuangan berkelanjutan. Namun, masih terdapat kesenjangan antara regulasi dengan praktek di lapangan. Menurut Koordinator ResponsiBank Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, kehadiran Taksonomi Hijau 1.0, Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), serta sustainability banking merupakan bukti kemajuan yang dimiliki Indonesia dibidang keuangan berkelanjutan.
“Namun kalau kita mau dalami lebih detail, masih jauh gap antara regulasi yang sudah baik ini dengan praktek di lapangan. sehingga salah satu agenda kita kedepan yang kami ajukan kepada kita semua adalah mari kita dorong implementasi regulasi-regulasi yang sudah baik ini agar lebih konkrit, agar lebih advance, mari kita close the gap untuk regulasi dengan implementasi,” kata Maftuchan saat membuka Training Human Rights and the Banking Sector yang diselenggarakan ResponsiBank Indonesia bersma Profundo, pada Selasa (20/12/2022).
Lebih lanjut, Maftuchan juga menyampaikan Indonesia saat ini berada pada momentum yang baik, baik secara domestic, regional, maupun global. “Setelah kemarin kita menjadi presidensi G20, kita berhasil mendorong berbagai hal yang cukup inovatif misalnya di deklarasi pemimpin G20 yang telah disepakati. G20 member countries komitmen untuk mendorong lahirnya sustainability report di dalam industri keuangan. Lalu kemudian besok tahun 2023 kita Indonesia juga akan memegang chairmanship ASEAN,” kata Maftuchan.
Menurutnya, Indonesia juga telah menjadi salah satu negara yang ikut mendorong lahirnya industri keuangan yang lebih berkelanjutan dan komitmen terhadap implementasi ESG prinsip dalam kerja-kerja atau dalam kegiatan bisnis. “ASEAN saat ini juga sudah punya ASEAN green taksonomi 1.0 dan ini akan terus dikembangkan agar lebih tajam dan terus kontekstual terhadap perkembangan situasi. Mari kita terus-menerus memperkuat komitmen kita dan kontribusi kita terhadap kegiatan bisnis yang lebih ramah lingkungan, kegiatan bisnis yang lebih ramah sosial kegiatan bisnis yang memperkuat penurunan kemiskinan dan ketimpangan sehingga kita bisa menciptakan suatu kondisi yang lebih baik ke depan,” tambah Maftucha.
Hadir secara virtual sebagai pembicara dalam kesempatan ini adalah Juliette Laplane, seorang peneliti senior dari Profundo. Dalam paparannya, Juliette menjelaskan, hubungan lembaga keuangan dengan dampak hak asasi manusia (HAM) secara umum seringkali sulit untuk dipahami.
Menurutnya hal tersebut dapat dilihat dari sisi apakah lembaga keuangan melalui kegiatannya baik disengaja maupun tidak dengan sendirinya menghilangkan atau mengurangi kemampuan sesorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan haknya sebagai manusia. “Seperti apakah dalam kegiatan lembaga keuangan telah terjadi diskriminasi, pelecehan seksual dan verbal, ketidaksetaraan gender, penghancuran serikat pekerja,” kata Juliette.
Namun, Juliette juga menjelaskan, pekerjaan bank atau lembaga keuangan tidak hanya fokus pada risikonya sendiri tetapi juga memperhatikan risiko yang berdampak pada masyarakat. “Bank harus menilai resiko lingkungan dan masyarakat sesuai urutan yang benar. Bank harus mengembangan kebijakan umum mengenai berbagai topik HAM misalnya hak tenaga kerja dan lain sebagainya,” kata Juliette. Menurut Juliette, OHCHR dan OECD telah mengeluarkan beberapa pedoman penerapan standar normatif pada sektor keuangan.
Untuk itu, lembaga keuangan diharapkan dapat menanamkan HAM ke dalam kebijakan dan sistem manajemen yang relevan. Selain itu, bank juga harus mengidentifikasi dampak merugikan aktual dan potensial dalam pinjaman dan investasi. “Dapat dilakukan menggunakan leverage untuk mempengaruhi klien dan atau perusahaan investasi yang menimbulkan dampak merugikan untuk mencegah atau mengurangi dampak tersebut. memperhitungkan bagaimana dampak merugikan tersebut dapat ditangani, dengan melacak kinerja dan mengomunikasikan hasil,” tutup Juliette.