Masyarakat sipil mendorong agar OJK dapat menerapkan prinsip transisi energi berkeadilan (just energy transition) dalam implementasi Taksonomi Hijau
Jakarta – Implementasi dari Taksonomi Hijau yang telah diluncurkan awal tahun ini oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai harus sejalan dengan prinsip transisi berkeadilan (just transition). Hal itu bertujuan agar keberlanjutan lingkungan dan prinsip sosial dan HAM dalam proses transisi energi menuju energi bersih terbarukan dapat terlaksana dengan baik.
Adanya Taksonomi Hijau versi 1.0 berfungsi sebagai panduan bersama untuk mengetahui kegiatan ekonomi mana saja yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan mampu mendorong akselerasi pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi, serta adaptasi perubahan iklim, sejalan dengan komitmen Indonesia menuju net zero emission.
Herni Ramdlaningrum, Program Manager dari Perkumpulan Prakarsa, menilai bahwa Taksonomi Hijau 1.0 yang dikeluarkan oleh OJK, muncul dari adanya peningkatan kesadaran global terkait pentingnya aspek keberlanjutan. Industri keuangan sendiri merupakan aktor penting dalam mencapai agenda perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu digaris bawahi terkait Taksonomi Hijau di Indonesia. “Dengan menggunakan labelisasi “lampu merah” (merah, kuning, hijau), sub-sektor kuning tersebut dinilai merupakan sebuah kompromi dan berpotensi menyesatkan.” jelas Herni.
Menurut dia, Taksonomi Hijau 1.0 juga masih memiliki kelemahan jika dilihat dari sisi dimensi inklusivitas, kesetaraan gender, dan penegakan HAM. “OJK harus mengambil posisi tegas terkait beberapa sektor yang masih dilabeli kuning karena akan kontra produktif dengan agenda transisi energinya.” paparnya.
Herni menambahkan, OJK diharapkan memiliki timeframe yang jelas untuk memutuskan hal ini, dengan secara serius mempertimbangkan dimensi sosial. “Semoga saat ini, yang dikategorikan kuning (seperti batu bara) dapat berubah menjadi merah.” Ujar Herni.
Luthfyana Larasati, Analis Senior Climate Policy Initiative mengatakan terjadi tren peningkatan partisipasi sektor swasta di sektor investasi hijau sejak ditetapkannya Peraturan OJK No 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan hingga adanya Taksonomi Hijau 1.0. Menurutnya, Taksonomi Hijau harusnya berpeluang memperlebar cakupan pelaporan kegiatan berkelanjutan POJK 51, karena telah mencakup 919 sub sektor yang sesuai dengan Standar Klasifikasi Industri Indonesia (KBLI).
Luthfyana menjelaskan, sejauh ini baru terdapat 15 sub-sektor atau kegiatan usaha yang berkategori hijau, sedangkan terdapat 422 sub-sektor berlabel kuning yang artinya perlu pemenuhan prasyarat untuk mendapatkan pembiayaan dan 482 yang berlabel merah yaitu kegiatan yang merusak lingkungan, artinya lebih dari 50% sub-sektor dinilai tidak selaras dengan tujuan iklim dan transisi energi Indonesia menuju net-zero.
Dia mencontohkan, industri fosil seperti batu bara masih dimasukan antara kategori kuning dan merah. Menurut Lutfyana, seharusnya label kuning ini adalah kondisi dimana sub sektor tersebut masih di dalam masa/periode transisi menuju kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Adanya standar AMDAL misalnya, membuat kecenderungan sub sektor ini dapat masuk ke kategori hijau. Perkiraan sekitar 50% subsektor yang masuk kuning akan menjadi hijau.
“Kedepannya taksonomi hijau perlu memperkuat penentuan matriks sub-sektor dan ambang batas (threshold) dari pelabelannya. Tujuannya agar Taksonomi Hijau benar-benar dapat sejalan dengan komitmen net zero. Dengan memperkuat konsolidasi dan sinkronisasi dari Taksonomi Hijau sehingga dapat menarik investasi di sektor hijau dan mengurangi biaya verifikasi dan uji tuntas (due diligence),” tuturnya.
Istiana Maftuchah, OJK Secondee untuk Direktorat Lingkungan Organization for Economic Co-operation (OECD), menjelaskan hasil laporan riset terbaru OJK yang bertajuk “Assessing Progress of Indonesia’s Financial Institutions Towards the Clean Energy Transition” yang dilakukan melalui survei kuantitatif dan kualitatif kepada lembaga keuangan di Indonesia.
Temuan laporan tersebut diantaranya adalah kucuran dana yang dialokasikan oleh lembaga keuangan seperti bank komersial dan perusahaan infrastruktur pada proyek pembangkit listrik energi terbarukan meningkat selama 2018 sampai Q1 2021, meskipun batu bara tetap menjadi sektor terbesar dari pembiayaan pembangkit listrik oleh perbankan. Pembiayaan bank untuk teknologi surya dan angin masih sangat rendah. Namun, hasil survei menunjukkan skema pembiayaan semacam itu relatif tersedia untuk teknologi terbarukan lainnya seperti hidro (khususnya, mini dan mikro) dan bioenergi.
“Cukup mengejutkan, bank-bank Kelompok Bank Bermodal Inti (KBMI) 4 (di atas Rp 70 triliun) dan KBMI 3 (antara Rp14-70 triliun) berdasarkan hasil survei mengalokasikan porsi yang jauh lebih rendah dari pencairan pinjaman pembangkit listrik tahunan mereka untuk proyek-proyek terbarukan daripada bank-bank KBMI 1 (modal inti hingga Rp 6 triliun),” tuturnya.
Namun, porsi pinjaman yang relatif tinggi yang dialokasikan untuk proyek pembangkit listrik tenaga angin darat oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur selama 2018-Q1 2021 dapat menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong investasi untuk angin sedang berlangsung.
Dia menjelaskan, Taksonomi Hijau hadir sebagai pengembangan instrumen komponen ekosistem dalam sustainable finance, yang ditujukan untuk mengukur kemajuan implementasi keuangan berkelanjutan pada industri jasa keuangan. Setelah adanya POJK,industri keuangan sudah mulai mengarah (pada sustainable finance), namun mayoritas baru pada level awareness dan capacity building.
“Saat ini OJK telah menyiapkan beberapa sub regulasi terkait dengan manajemen resiko, terkait iklim melalui Standard Setting Bodies. Kita juga sedang fokus di pelaksanaan sistem pelaporan industri jasa keuangan terkait taksonomi hijau ini. Target total populasi 2.158 seluruh industri jasa keuangan,” ujar Istiana.