Kondisi dan Tantangan Pekerja Disabilitas di Indonesia
The PRAKARSA menyelenggarakan diskusi publik dan launching riset ketenagakerjaan disabilitas dengan judul “Penyandang Disabilitas di Tempat Kerja: Kondisi dan Tantangannya di Indonesia Sebagai Negara G20” yang dilaksanakan secara daring, pada Selasa (19/4).
Kegiatan ini dibuka oleh Victoria Fanggidae selaku Deputi Direktur PRAKARSA. Victoria menjelaskan, riset ini merupakan kerjasama antara PRAKARSA dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI yang didasari atas perhatian yang sama terkait kondisi ketenagakerjaan disabilitas di Indonesia.
“Masih banyak hambatan dan diskriminasi yang dihadapi oleh rekan-rekan kita kaum disabilitas untuk melakukan fungsi sebagai manusia seutuhnya yaitu di pendidikan dan juga di dunia kerja,” kata Victoria.
Hasil riset ini diharapkan mampu menjadi basis bukti yang akan disampaikan dalam forum G20 yang dilaksanakan tahun ini di Bali dan sekaligus menjadi bahan advokasi berbagai pihak maupun kebijakan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia demi terwujudnya inklusifitas disetiap sendi kehidupan.
Riset ini menemukan fakta bahwa angkatan kerja disabilitas didominasi tenaga yang berasal dari desa dengan pendidikan rendah, “Misalnya dari jenis disabilitas penglihatan, sebanyak 54,28% merupakan angkatan kerja yang bersal dari desa dan 45,72% berasal dari kota,” kata Dermwan Prasetya, selaku Peneliti Kebijakan Sosial PRAKARSA.
Tingkat Serapan Tenaga Kerja Disabilitas pada Pasar Kerja
Lebih lanjut, Darmawan memaparkan bahwa hanya 7.8 juta (43%) angkatan kerja disabilitas sudah bekerja. Dan berdasarkan jenis pekerjaan, 30% diantaranya merupakan pekerja yang berusaha sendiri, 26% buruh tidak tetap, 18% karyawan/buruh, 6% pekerja bebas di pertanian, 4% pekerja bebas nonpertanian, dan sebanyak 13% merupakan pekerja keluarga yang tidak dibayar.
Sedangkan dari sisi gender, Darmawan menyatakan, angkatan kerja disabilitas didominasi oleh laki-laki diangka 57,83% dan perempuan diangka 42,17%. “Namun jika dilihat lebih mendalam, dari ketimpangan jumlah tersebut angkatan kerja disabilitas perempuan harus menerima diskriminasi ganda berupa partisipasi kerja dan upah yang rendah jika dibandingkan dengan laki-laki,” tuturnya.
Lebih penting lagi, Darmawan melanjutkan, riset ini juga menemukan fakta bahwa pandemi covid-19 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi pasar kerja disabilitas jika dilihat dari dari segi penyerapan tenaga kerja. Namun dari segi penerimaan upah, sebanyak 47,85% pekerja dari setiap kelompok disabilitas mengalami penurunan.
“Ini merupakan prosentase paling tinggi jika dibandingkan dengan penurunan upah pada kondisi sebelum pandemi,” ucap Darmawan.
Dari data-data tersebut secara lebih mendalam memperlihatkan bahwa meskipun dari sisi kebijakan sudah dianggap maju karena Indonesia telah banyak meratifikasi berbagai kesepakatan internasional namun masih menyisakan masalah lain dalam implementasinya.
“Seperti rendahnya tingkat pendidikan penyandang disabilitas, tidak adanya pedoman perekrutan bagi seluruh ragam disabilitas, rendahnya pemahaman isu disabiltas diseluruh sektor baik perusahaan maupun kementerian atau lembaga, belum optimalnya implementasi kebijakan kuota pekerja disabilitas sekaligus tidak adanya sistem pengawasan kuota, informasi pekerjaan yang tidak inklusif, stigma masyarakat terhadap kemampuan disabilitas, minimnya perlindungan sosial dan jejaring karir, dan belum memadainya infrastruktur penunjang lain atau aksesibilitas kerja bagi pekerja disabilitas,” jelas Darmawan.
Dari kondisi tersebut, Darmawan juga menyampaikan, PRAKARSA mendorong agar pemerintah menjamin infrastruktur dasar bagi pekerja disabilitas, dilaksanakannya pemantauan rekrutmen kuota minimum, memberikan bantuan dan dukungan pada perusahaan dalam mempekerjakan disabilitas, serta penyediaan pelatihan kerja yang inklusif.
Pada kesempatan ini PRAKARSA menghadirkan berbagai pihak dari pengusaha maupun pemerintah untuk menjadi penanggap dalam diskusi ini, diantaranya Suhardi dari Kementerian Ketenagakerjaan RI, Nuryaman dari Disnakertrans Provinsi Sulawesi Selatan, Himawan Estu Bagijo selaku kepala Disnakertrans Provinsi Jawa Timur, serta Myra M. Hanartani dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).
Selain itu, juga ada sesi sharing pengalaman dari pekerja disabilitas diantaranya M. Beny Sasongko (penyandang disabilitas tuli) yang sehari-hari bekerja sebagai Guru SLB, Anisa Kusuma W (penyandang disabilitas tuli) yang bekerja sebagai PNS di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Temanggung, dan Hendri Hernowo (penyandang disabilitas low vision) yang merupakan seorang mahasiswa S2 penerima beasiswa dari pemerintah Australia.
Diharapkan kedepannya tenaga kerja disabilitas bisa mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan masyarakat pada umumnya, bahwa memberi kesempatan kerja adalah bagian dari upaya memanusiakan penyandang disabilitas. Semoga pada presidensi G20 Indonesia beberapa waktu mendatang dapat membawa kepastian dalam mendorong isu pasar kerja inklusif.