The PRAKARSA: Iuran Standar KRIS Tidak Boleh Terlalu Tinggi

The PRAKARSA menyarankan agar iuran BPJS Kesehatan dengan sistem KRIS tidak terlalu tinggi.

Warga mengurus layanan kesehatan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (6/10/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/tom.

tirto.id – Lembaga riset dan advokasi kebijakan publik The PRAKARSA menyambut baik langkah pemerintah menghapus kelas I, II dan III dalam BPJS Kesehatan dan menggantinya dengan sistem kelas rawat inap standar (KRIS).

The PRAKARSA menyebut pihaknya telah mendorong adanya kebijakan kelas standar dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak awal program tersebut disahkan.

Direktur Eksekutif The PRAKARSA, Ah Maftuchan, menyebut bahwa sistem KRIS setidaknya bisa mengatasi beberapa pokok persoalan dalam penyelenggaraan JKN selama ini.

“KRIS dapat menghilangkan stigmatisasi kelas miskin dan kurang mampu peserta JKN-PBI, menghilangkan diskriminasi layanan kesehatan, menghilangkan ketimpangan ketersediaan fasilitas kesehatan (termasuk jumlah tempat tidur),” ungkap Maftuchan dalam keterangan pers yang diterima Tirto, Rabu (15/5/2024).

Menurut Maftuchan, pemerataan kualitas fasilitas kesehatan dan layanan kesehatan perlu didorong sebagai upaya mencapai universal health coverage (UHC) 100 persen.

Pada 2017, The PRAKARSA melakukan riset bertajuk Ekuitas Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin dan Hampir Miskin di Indonesia. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan JKN di rumah sakit, puskesmas, ataupun klinik sering kali menghadapi berbagai kendala dalam memberikan pelayanan kesehatan. Kendala-kendala tersebut di antaranya fasilitas yang kurang layak, kualitas layanan kurang baik, dan jenis layanan yang tidak lengkap.

Di sisi lain, masyarakat umumnya terbentur pada persoalan akses terhadap layanan kesehatan.

Oleh karena itu, The PRAKARSA menilai pelaksanaan KRIS yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 sebagai langkah maju untuk mewujudkan akses jaminan kesehatan yang berkeadilan bagi rakyat Indonesia.

The PRAKARSA juga mengapresiasi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang telah membuka ruang dialog dengan aktor nonpemerintah dalam proses penyiapan kebijakan dan implementasi KRIS ini.

“Pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam proses penyusunan kebijakan KRIS merupakan wujud konkret kolaborasi multisektor dapat mendorong terwujudnya kebijakan yang berbasis bukti di Indonesia,” kata Maftuchan.

Selain itu, Maftuchan mengingatkan bahwa sistem KRIS harus terus disempurnakan seiring waktu. BPJS Kesehatan pun mesti memitigasi risiko yang mungkin muncul di kemudian hari.

“Adanya penerapan KRIS dapat memunculkan dua dampak nyata, yakni risiko kenaikan iuran dan risiko hilangnya peserta BPJS Kesehatan, terutama yang sudah bergabung di kelas I sebelumnya,” tegas Maftuchan.

Risiko kenaikan iuran perlu diperhatikan sebagai dampak dari penerapan kelas standar. Risiko tersebut akan berdampak pada kelompok rentan dan miskin yang sebelumnya sebagian besar dikategorokan dalam kelas III.

Oleh karena itu, penetapan iuran BPJS Kesehatan dengan sistem KRIS tidak boleh terlalu tinggi, seperti ke kelas I. Maftuchan juga menyarankan agar layanan KRIS disetarakan dengan layanan kelas II.

Sumber: tirto.id

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.