Universal Health Coverage (UHC) masih sulit dicapai. Indeks cakupan layanan UHC pada tahun 2018 hanya sebesar 60 dan belum optimal. Selama ini pencapaian UHC hanya diukur dari jumlah kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), padahal konsep UHC lebih luas dari itu. UHC seharusnya diukur dari segi kualitas, cakupan layanan dan perlindungan finansial bagi masyarakat sesuai dengan framework SDGs.
“UHC harus dipandang sebagai komitmen negara untuk meningkatkan kualitas kesehatan seluruh masyarakat secara adil dan merata dalam wilayah yuridiksi Indonesia. Masyarakat harus mendapatkan akses pelayanan kesehatan tanpa mengalami kesulitan finansial, namun sayangnya hal tersebut masih menjadi tantangan tersendiri,”papar Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSA.
“Biaya out-of-pocket untuk perawatan kesehatan di Indonesia masih relatif tinggi sehingga menghambat upaya dalam menyediakan perlindungan finansial bagi masyarakat. Terdapat 13 juta jiwa yang membelanjakan lebih dari 10 persen dari total konsumsi mereka untuk perawatan kesehatan. Selain itu, hampir 1,1 juta jiwa yang berada di atas garis kemiskinan nasional tahun 2018 termiskinkan akibat biaya out-of-pocket. Artinya, masyarakat terpaksa mengalihkan konsumsi untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, dan pakaian untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,” tambah Herawati, peneliti Perkumpulan PRAKARSA.
Ada kecendrungan dimana provinsi dengan indeks cakupan layanan rendah memiliki pengeluaran katastopik untuk kesehatan yang juga rendah, begitu pula sebaliknya. Sebagai contoh, Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur yang merupakan dua provinsi dengan angka kemiskinan yang tinggi, mempunyai indeks cakupan layanan yang rendah dengan pengeluaran katastropik yang juga rendah. “Hal ini mengindikasikan bahwa rendahnya pengeluaran katastropik belum tentu menunjukkan tercapainya perlindungan finansial, akan tetapi mencerminkan rendahnya utilitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di daerah miskin,” tambah Herawati, peneliti Perkumpulan PRAKARSA.
Ketimpangan cakupan layanan UHC antar provinsi di Indonesia masih sangat tinggi. Provinsi di pulau Jawa dan bagian barat Indonesia cenderung mempunyai nilai indeks cakupan layanan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Perbedaan yang signifikan terlihat dari hasil penghitungan yang dilakukan oleh PRAKARSA, dimana Jakarta menempati urutan tertinggi dengan indeks 70 dan Sulawesi Barat menempati urutan terendah dengan indeks 52. “Permasalahan distribusi tenaga kesehatan dan terbatasnya infrastruktur di daerah-daerah miskin masih menjadi tantangan provinsi dengan indeks cakupan layanan yang rendah,” tegas Herawati, peneliti Perkumpulan PRAKARSA.
Indeks pada dimensi penyakit tidak menular juga cukup rendah. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan dasar yang tersedia di masyarakat. Salah satunya, untuk indikator skrining kanker serviks hanya sembilan secara nasional. Tentunya ini sangat memprihatinkan karena hanya 9 dari 100 perempuan usia 30-49 tahun di Indonesia yang melakukan deteksi dini kanker serviks. Selain itu, tingginya prefelansi merokok dan pola hidup tidak sehat juga berkontribusi signifikan terhadap rendahnya indeks pada dimensi penyakit tidak menular dengan nilai indeks 49.
“Pemerintah harus segera melakukan langkah yang efektif dalam upaya akselerasi capaian UHC, strategi promosi kesehatan perlu direvisi dan diperluas. Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan ekstensifikasi barang kena cukai yang dianggap berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Pada akhirnya hal-hal tersebut dapat menciptakan pola hidup sehat dan mengurangi beban kesehatan negara terkait dengan penyakit menular dan penyakit tidak menular,” tutup Ah Maftuchan, Direktur Eksekutif Perkumpulan PRAKARSA.