Saat ini, Pemerintah dan DPR untuk ketiga kalinya berupaya untuk mengubah UU No. 7/1992 tentang Perbankan. Beberapa faktor telah mendorong perubahan ini, diantaranya, 1) perubahan mendasar pada industri perbankan dan sektor jasa keuangan lainnya seiring krisis global 2008, khususnya dalam hal penguatan permodalan, tata kelola, manajemen risiko, dan peran pemerintah. 2) kebutuhan yang semakin besar untuk pembiayaan pembangunan, pemerataan ekonomi, kemudahan akses masayarakat, 3) lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang secara signifikan mempengaruhi industri perbankan seperti UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU No. 14 Tahun 2004 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Draft RUU Perbankan kembali masuk Progam Legislasi Nasional 2015-2019 dan terus dibahas oleh Komisi XI DPR setelah sebelumnya dipersiapkan oleh Panitia Kerja XI Komisi XI DPR Periode 2019-2014. DPR terus menjaringan masukan dan penyempurnaan atas draft RUU Perbankan lewat konsultasi dan kunjungan kerja DPR ke sejumlah universitas dan stakeholder lainnya pada tahun 2015.2
Sejumlah pihak menyambut RUU Perbankan ini dengan pandangan yang cukup beragam, mulai dari keinginan untuk menyepakati arsitektur keuangan nasional, cetak biru perbankan sampai dengan perdebatan mengenai porsi kepemilikan asing atas bank.3 Perdebatan juga tak terhindarkan berkaitan dengan kewenangan pengawasan perbankan setelah lahirnya Otoritas Jasa Keuangan.
Sejauh ini ada sejumlah isu yang diusung dan perubahan dalam RUU Perbankan ini, dan umumnya di dominasi oleh isu yang berhubungan dengan pragmentasi kewenangan pengaturan dan pengawasan yang melibatkan Otoritas Jasa Keuangan, kepemilikan, konglomerasi, pengaturan menganai bank asing, peran perbankan dalam menjaga stabilitas keuangan dan pembiayaan pembangunan. Namun demikian, isu-isu yang diusung masyarakat sipil seperti lingkungan, Hak Asasi Manusia, korupsi, pajak, konsumen dan lain-lain tampaknya masih belum menjadi perhatian dari para perumus RUU ini.
White paper berisi catatan kritis atas draft terakhir RUU Perbankan (per 2014)4 dan merupakan proposal masyarakat sipil untuk perbaikan RUU Perbankan dan reformasi sistem hukum perbankan yang diharapkan lebih menghormati aspek-aspek sosial, hak asasi manusia, lingkungan hidup, anti-korupsi, inklusif dan melindungi kepentingan konsumen.