Lembaga penelitian The Prakarsa telah menerbitkan Indeks Kemiskinan Multidimensi atau IKM periode 2012-2021. Berdasarkan indeks tersebut, rasio kemiskinan penduduk Indonesia mengalami penurunan, namun angkanya lebih tinggi dari angka yang diterbitkan pemerintah.
Seperti diketahui, angka kemiskinan yang dipublikasikan pemerintah pada 2021 adalah 9,9% dari total populasi. Sedangkan IKM yang ditemukan The Prakarsa mencapai 14,3%.
Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan menjelaskan perbedaan data tersebut disebabkan angka kemiskinan versi pemerintah hanya menggunakan kacamata moneter. Sementara itu IKM menggunakan kacamata kapabilitas individu.
“Kami punya keyakinan bahwa IKM dapat menjelaskan bagaimana dan konteks yang mendalam terkait seseorang menjadi miskin,” kata Maftuchan di Hotel Sultan, Rabu (9/7).
Maftuchan mengatakan IKM dapat mengidentifikasi individu yang miskin lantaran menggunakan pendekatan yang lebih luas. Menurutnya, angka yang diterbitkan oleh pemerintah mencakup lebih banyak daerahm, namun menghasilkan data yang relatif lebih dangkal. Sementara itu, data yang tertera dalam IKM menyertakan varian yang mempengaruhi kehidupan seseorang.
The Prakarsa mencatat angka kemiskinan versi pemerintah secara konsisten menurun dari sejumlah 11,8% pada 2012 menjadi 9,3% pada 2019. Angka tersebut naik menjadi 10% pada 2020 dan kembali turun pada 2021.
Pada saat yang sama, indeks kemiskinan nasional terus menyusut perubahan walau ada pandemi Covid-19. Indeks kemiskinan yang tercatat sejak 2012 masih mencapai 49%.
Penurunan IKM nasional paling besar terjadi pada 2015 atau turun 690 basis poin secara tahunan menjadi 35,3%. Jumlah penduduk miskin pada 2015 berkurang 16,54 juta menjadi 89,85 juta orang.
Dalam penelitian The Prakarsa, penurunan indeks kemiskinan dalam 10 tahun terakhir dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni akses internet, morbiditas, dan lama sekolah.
Maftuchan menilai angka IKM secara nasional dapat mempercepat pencapaian Tujuan Perkembangan Berkelanjutan atau SDG,’s. Menurutnya, penelitian IKM tersebut dapat melengkapi data kemiskinan yang selama ini diterbitkan pemerintah.
“Pemerintah perlu segera mengadopsi indeks kemiskinan multidimensi sebagai metode pengukuran resmi,” ujarnya.
Berdasarkan penelitian The Prakarsa, ada 11 faktor pendekatan dalam menghitung IKM. Ke-11 aspek tersebut adalah akses internet, akta kelahiran, sanitasi, bahan bakar memasak, air minum layak, kepadatan penduduk, rumah layak, lama sekolah, partisipasi sekolah, morbiditas, dan nutrisi balita.
Penelitian tersebut menunjukkan morbiditas, rumah layak, dan air minum layak menjadi faktor terbesar yang membuat angka IKM tinggi. Dari sekitar 39 juta orang miskin multidimensi pada 2021, sebanyak 86,4% tinggal di rumah tidak layak, 57% tidak memiliki akses air minum, dan 52,5% memiliki morbiditas atau dalam kondisi sakit.