Jakarta (ANTARA) – Mewujudkan Indonesia yang bebas dari kemiskinan dan kesenjangan pendapatan menjadi bagian penting dari visi Indonesia 2045.
Meskipun sangat sulit untuk mewujudkan itu, terlebih pada 2024 akan terjadi transisi pemerintahan dan politik, sehingga mengejar penurunan kemiskinan ekstrem cenderung tidak mudah.
Berbagai upaya sejak saat ini diarahkan Pemerintahan Presiden Jokowi untuk mendorong pertumbuhan merata ke seluruh kelompok masyarakat, agar kemiskinan ekstrem tidak lagi dijumpai di Indonesia mulai tahun 2040.
Pada tahun 2045, tingkat kemiskinan Indonesia diharapkan tinggal 0,02 persen atau sekitar 63 ribu penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Gini rasio juga akan dipertahankan pada tingkat yang ideal. Upaya mendorong pemerataan dan pengentasan kemiskinan dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan meningkatkan investasi yang memicu penciptaan lapangan kerja dan akses kegiatan ekonomi produktif.
Selain juga mengembangkan kapasitas sumber daya manusia, optimalisasi pendanaan pembangunan di daerah perdesaan, serta memperkecil ketimpangan antara UMKM dengan usaha besar.
Maka untuk menuju pada pencapaian tersebut diperlukan penggunaan data sebagai dasar pengambilan kebijakan yang tepat.
Salah satu yang menjadi referensi adalah penghitungan alternatif Multidimensional Poverty Index atau Indeks Kemiskinan Multidimensional (IKM) yang sejak tahun 2010 dilakukan oleh Oxford Poverty and Human Initiatives (OPHI) dari University of Oxford.
Indeks ini dapat menjadi alternatif sekaligus memberikan gambaran mengenai dimensi kemiskinan yang dapat ditargetkan secara khusus oleh pemerintah, serta untuk membandingkan kemiskinan antar daerah atau negara.
Dengan menekankan standar kelayakan, IKM Global menghitung tingkat kemiskinan di tiga dimensi dasar yakni kesehatan, pendidikan, dan standar hidup yang membandingkan situasi dan kondisi di berbagai negara.
Sedangkan IKM nasional merupakan pengembangan IKM global yang lebih relevan dan fleksibel untuk menentukan kondisi dan capaian penanggulangan kemiskinan di lingkup negara atau daerah sehingga dapat menjadi dasar prioritas kebijakan.
Salah satu yang telah melakukan di antaranya The Prakarsa di Indonesia dengan menggunakan
metode Alkire-Foster dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS. The Prakarsa pernah menghitung IKM nasional berdasarkan penjabaran lima dimensi yaitu kesehatan, pendidikan, perumahan, pelayanan dasar, dan partisipasi sosial.
Temuan awal menyebutkan jumlah penduduk miskin rumah tangga di Indonesia adalah 38,9 juta jiwa atau sekitar 14,3 persen dari total penduduk pada tahun 2021.
Persentase kemiskinan ini menurun drastis dibandingkan tahun 2020 dan 2019 yang masing-masing sebesar 17,5 persen dan 23 persen.
Indikator material rumah dan akses terhadap air minum yang aman merupakan dua indikator terbesar yang mempengaruhi jumlah kemiskinan multidimensi pada rumah tangga ini.
Hasil ini juga sejalan dengan data Kementerian PUPR bahwa masih terdapat hampir 30 juta rumah tidak layak huni di Indonesia pada tahun 2021 dan 57,15 persen desa di seluruh Indonesia juga belum memiliki akses air minum pada tahun 2022.
Temuan juga menunjukkan bahwa menurut provinsi, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur merupakan tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan multidimensi terbesar, yaitu masing-masing 27,1 persen, 21,8 persen, dan 20,7 persen dari total penduduk.
Meskipun jumlah penduduk miskin secara multidimensi relatif lebih besar dibandingkan moneter, tentunya kecenderungan penurunan kuantitas dan kualitas kemiskinan secara multidimensi di masyarakat merupakan sinyal yang baik akan adanya peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin.
Rekonstruksi kemiskinan
Kenaikan harga, terutama bahan pokok, memicu turunnya daya beli masyarakat. Terkait kondisi ini, Bank Dunia juga menaikkan standar garis kemiskinan moneter terbaru.
Melalui rilis perkembangan ekonomi terkini di negara-negara kawasan Asia dan Pasifik, Bank Dunia memberikan update perhitungan kemiskinan berdasarkan pendapatan, yang berdampak pada penambahan jumlah penduduk miskin.
Batas pendapatan harian yang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem berdasarkan paritas daya beli (PPP) terbaru adalah 2,15 dolar AS (Rp33.756) per hari. Standar sebelumnya adalah 1,9 dolar AS per hari.
Dari laporan Bank Dunia ini, tercatat 33 juta orang dari kelas menengah ke bawah di Asia masuk dalam kategori sangat miskin. Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, China dan Indonesia menyumbang penurunan jumlah kelas menengah terbesar, yaitu masing-masing 18 dan 13 juta orang.
Sementara menurut rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2022, penduduk miskin Indonesia tercatat sebesar 9,54 persen dari jumlah penduduk atau setara dengan 26,16 juta orang.
Ini merupakan penurunan 0,17 persen dibandingkan September 2021. Dasar penghitungan BPS menggunakan garis kemiskinan nasional berdasarkan pengeluaran, yakni sekitar Rp550 ribu rupiah per kapita per bulan.
Perlu dicermati bahwa kemiskinan berdasarkan konsumsi atau pendapatan oleh Bank Dunia, BPS, dan mungkin lembaga keuangan lainnya hanya membawa semua pihak untuk melihat wajah kemiskinan yang ada. Aspek kemiskinan non moneter yang seringkali menyangkut kualitas hidup masyarakat belum mendapat perhatian serius.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mencantumkan pengentasan kemiskinan yang perlu diselesaikan dalam segala bentuknya di mana pun sebagai poin pertama dari 17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Meskipun tidak ada prioritas dari semua tujuan, poin pertama harus menyiratkan bahwa poin ini adalah komitmen utama.
Oleh karena itu, penting untuk mengentaskan kemiskinan ke depan melalui peningkatan kualitas hidup masyarakat, tidak hanya berdasarkan data pendapatan atau pengeluaran, tetapi juga standar hidup yang layak.
Menanggapi hal ini, kemiskinan multidimensi muncul sebagai konsep yang lebih relevan, luas, dan ideal untuk menghitung dan memberikan bukti kemiskinan.
Di Indonesia sendiri, perhitungan kemiskinan multidimensi yang menggambarkan kondisi Indonesia sejatinya telah tersedia setidaknya sejak tahun 2015.
Indikator inilah yang ke depan harus dimaksimalkan secara bijak untuk memfokuskan dan memprioritaskan pembangunan berdasarkan aspek-aspek yang dapat menekan tingkat kemiskinan masyarakat tanpa terlalu boros anggaran dalam waktu singkat.
Intinya terletak pada suatu program berjangka yang terencana dengan berdasarkan pada data.
Maka dengan kapasitas fiskal yang terbatas, ketika kemiskinan non-moneter dapat dipetakan dengan data yang dapat diandalkan, pemerintah di berbagai tingkat bahkan hingga tingkat kecamatan juga dapat mengetahui prioritas kebijakan pembangunan.
Termasuk program seperti apa yang dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan di daerah dalam jangka panjang berikut cara menanganinya.
Penargetan kebijakan
Berbagai upaya sudah dan sedang terus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Melalui instruksi Presiden, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem pada tahun 2024.
Melihat temuan kemiskinan multidimensi, langkah pemerintah dinilai sejumlah pihak sudah sesuai dengan jalurnya.
Kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk meningkatkan kualitas perumahan dan permukiman kumuh masyarakat cukup beragam dan lintas sektoral, misalnya melalui program penyediaan satu juta rumah dan perbaikan rumah tidak layak huni.
Dalam hal akses air bersih dan air minum, pemerintah lintas sektor telah menginisiasi berbagai target pencapaian. Padahal, Kementerian Kesehatan menargetkan 100 persen akses air minum layak pada 2024.
Beberapa capaian selama proses pelaksanaan hingga evaluasi program-program tersebut ada yang tidak disampaikan secara terbuka dan komprehensif kepada publik sehingga ada hal yang mengesankan berbagai kebijakan tampak tidak berjalan baik padahal sebaliknya.
Oleh karena itu komunikasi publik yang baik menjadi salah satu bahan evaluasi penting yang perlu diperbaiki ke depan.
Di sisi lain, terlihat bahwa dalam upaya pengentasan kemiskinan selama ini memang masih cenderung mengedepankan cara yang cepat untuk jangka pendek misalnya melalui pemberian subsidi dan berbagai bentuk bantuan tunai untuk segmen masyarakat miskin.
Kebijakan Subsidi BBM, misalnya, perlahan dikurangi akibat kenaikan harga global. Subsidi dialihkan ke subsidi upah dan bantuan tunai namun memang masih dianggap sebagian pihak belum mampu mengimbangi dampak kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya.
Ke depan memang harus dibangun kesadaran dan kemauan politik bersama yang kuat di berbagai level birokrasi dan masyarakat sehingga dapat mengutamakan penggunaan alat bukti dan program yang kuat, efektif, dan terpercaya.
*) Dorita Setiawan, Ph.D.; Asisten Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan.
Sumber : Antaranews.com