JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang mengevaluasi standar pengukuran garis kemiskinan yang sudah diterapkan selama 25 tahun terakhir ini. Ke depan, tidak hanya mengacu pada pendekatan biaya kebutuhan dasar makanan dan non-makanan, kemiskinan di Indonesia akan diukur lebih luas melalui pendekatan multidimensional dengan dimensi non-moneter.
Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan dengan satu dimensi, yaitu dimensi rata-rata pengeluaran per kapita per bulan. Pendekatan yang dipakai adalah cost of basic needs approach atau biaya yang dikeluarkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Pendekatan ini dikenal juga dengan pengukuran dimensi moneter.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa, Selasa (16/5/2023), mengatakan, perlu ada pengukuran kemiskinan yang lebih detail untuk mencerminkan kondisi riil kemiskinan melalui pendekatan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) atau Multidimensional Poverty Index (MPI).
Baca juga: Sudah Tidak Relevan, Saatnya Garis Kemiskinan Dievaluasi
Sebab, kemiskinan bukan semata-mata terkait kemampuan konsumsi atau pengeluaran seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi. Namun, juga meliputi minimnya akses seseorang terhadap infrastruktur dasar seperti akses pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, air bersih, sanitasi, dan lain-lain.
Pendekatan IKM sudah menjadi salah satu indikator dalam target Sustainable Development Goals (SDGs). Melalui IKM, kemiskinan diyakini akan lebih sesuai dengan kondisi riil, karena ikut mengukur berbagai dimensi yang berkontribusi terhadap kemiskinan.
“Sudah ada cara baru yang lebih multiindikator yang dipakai untuk menghitung apakah seseorang itu mampu atau tidak. Ini yang sedang kita exercise, apalagi cara pengukuran ini sudah menjadi rujukan dunia,” kata Suharso di sela- sela acara Indonesia Emas 2045 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta.
Bappenas sudah melakukan kajian terkait penerapan metodologi pengukuran garis kemiskinan baru ini. Meski belum ada data mendetail, Suharso mengatakan, pendekatan baru ini tidak serta-merta akan menaikkan angka kemiskinan secara nasional di Indonesia.
Perlu ada pengukuran kemiskinan yang lebih detail untuk mencerminkan kondisi riil kemiskinan melalui pendekatan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM).
“Ada daerah yang akan meningkat, ada juga yang justru menurun. Namun, untuk sekarang, kita belum bisa melihat secara nasional seperti apa dampaknya, karena ini masih dalam kajian kami,” katanya.
Menurut Suharso, evaluasi terhadap metodologi pengukuran garis kemiskinan itu dapat diselesaikan tahun ini. Selain mengevaluasi garis kemiskinan berdasarkan MPI, Bappenas juga akan memperbarui standar pengukuran selama ini yang memakai pendekatan moneter atau biaya kebutuhan dasar.
Bappenas juga mengkaji usulan Bank Dunia untuk menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari standar paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) sebesar 1,9 dollar AS per kapita per hari menjadi 2,15 dollar AS per kapita per hari sesuai standar baru yang berlaku.
“Kita akan mengakhiri periode pemerintahan tahun depan. Nanti hasil kajian ini akan kita sampaikan (ke pemerintah yang baru), kita sampaikan secara obyektif, kalau pakai IKM begini dampaknya, kalau berdasarkan paritas daya beli 2,15 dollar AS begini dampaknya,” ujarnya.
Turun lebih cepat
Dampak penggunaan pendekatan IKM terhadap tingkat kemiskinan pernah dikaji oleh Perkumpulan PRAKARSA dalam laporannya bertajuk Indeks Kemiskinan Multidimensi: Memotret Wajah-Wajah Kemiskinan di Indonesia pada 2019.
Hasil penghitungan PRAKARSA menunjukkan, dengan pendekatan multidimensi, jumlah penduduk miskin akan meningkat dibandingkan dengan pendekatan moneter. Meski demikian, laju penurunan angka kemiskinan dengan pendekatan multidimensi justru bisa lebih signifikan.
Sebagai gambaran, penduduk miskin multidimensi pada 2015 mencapai lebih dari 34 juta orang (13,53 persen), turun menjadi 30 juta orang (12 persen) pada 2016, menjadi 24,9 juta orang (9,56 persen) pada 2017, dan menjadi 21,5 juta orang (8,17 persen) pada 2018.
Sementara, berdasarkan data BPS, penduduk miskin moneter pada 2015 adalah 28,51 juta orang (11,13 persen), turun menjadi 27,76 juta orang (10,7 persen) pada 2016, menjadi 26,58 juta orang (10,12 persen) pada 2017, dan menjadi 25,6 juta orang (9,66 persen) pada 2018.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Bappenas, Maliki mengatakan, pendekatan multidimensi bisa memberikan kebijakan lebih tepat. Saat ini, pengumpulan data melalui Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) juga sudah menggunakan pendekatan pengumpulan data yang multidimensi.
“Katakanlah, ternyata seseorang itu miskin karena kurang akses terhadap pendidikan atau kesehatan, sehingga kita tahu apa kebijakan yang tepat untuk mengatasinya. Ini data-datanya sudah ada lewat Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang sifatnya makro, dan Regsosek yang sifatnya by name by address,” katanya.
Laju penurunan angka kemiskinan dengan pendekatan multidimensi justru bisa lebih signifikan.
Selain IKM, pemerintah tetap akan menggunakan pendekatan lama, yaitu biaya kebutuhan dasar sesuai komponen makanan dan non-makanan. Metodologi penghitungannya akan disempurnakan dan diperbarui sesuai pola konsumsi masyarakat terkini, sebab standar pengukuran itu masih menggunakan standar 25 tahun yang lalu. Pemerintah terakhir melakukan survei lapangan pada 1998.
Perbaikan atas pendekatan moneter itu dilakukan dengan memperhatikan juga perbedaan pola konsumsi di setiap daerah. Daerah miskin di Nusa Tenggara Timur dan Jawa Timur, misalnya, akan memiliki perbedaan cara menghitung, karena komoditas makanan dan kebutuhan non-makanan yang dikonsumsi berbeda.
Pemerintah juga akan merevisi populasi rujukan yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan selama ini. “Dalam waktu dekat, perbaikan metodologi ini bisa final dan sesegera mungkin kita jalankan. Pendekatan IKM itu tahap berikutnya setelah kita membenahi standar yang sekarang,” katanya.
Peneliti Utama The SMERU Research Institute Asep Suryahadi, Rabu (17/5/2023), menyambut baik inisiatif pemerintah untuk mengevaluasi garis kemiskinan yang saat ini memang sudah tidak relevan dengan realita masyarakat. Ia menilai, IKM dapat melengkapi pendekatan moneter yang selama ini dipakai pemerintah, bukan menggantikannya.
“Jadi, sebagai komplemen. Negara-negara lain yang menggunakan pendekatan IKM juga biasanya tetap melakukan penghitungan kemiskinan moneter. Kalau pendekatan moneter dihilangkan, nanti kita bisa kesulitan melakukan perbandingan tingkat kemiskinan dengan negara-negara lain,” ucap Asep.
Sumber : kompas.id