JAKARTA, KOMPAS.com – Tren jumlah penduduk miskin multidimensi di Indonesia mengalami penurunan signifikan dalam empat tahun terakhir dibandingkan dengan periode 2012-2014. Demikian Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga kajian di bidang kebijakan fiskal, kebijakan sosial, dan pembangunan berkelanjutan, yang mengukur Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) untuk periode 2015-2018. Mereka menggunakan metode Alkire-Foster dan berbasis data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dalam kurun 2015-2018 dengan cara menghitung deprivasi pada dimensi kesehatan, pendidikan dan standar hidup. “Hasil IKM 2015-2018 menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dalam berbagai program dan kebijakan yang terkait langsung dengan upaya penurunan angka kemiskinan maupun yang tidak terkait langsung dengan upaya penurunan kemiskinan, terbukti cukup berhasil, meskipun di Papua, NTT dan Papua Barat nilai indeks kemiskinan multidimensi masih cukup tinggi,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan dalam ketetangan tertulis, Kamis (11/4/2019).
Pada 2015, ada 34 juta orang penduduk miskin, pada 2016 ada 30 juta orang, pada 2017 ada 24,9 juta orang, dan pada 2018 ada 21,5 juta orang atau hanya sekitar 8,17 persen. Maftuchan mengatakan, turunnya angka kemiskinan multidimensi sejalan dengan turunnya angka kemiskinan moneter. Bahkan lebih rendah. Pada September 2018, angka kemiskinan moneter menunjukkan angka 25,67 juta orang atau 9,66 persen dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut terendah sejak krisis moneter pada tahun 1998. Hasil penghitungan IKM menunjukkan semua provinsi di Indonesia mengalami penurunan jumlah penduduk miskin multidimensi. Rasio penduduk miskin terbanyak terkonsentrasi di pedesaan. Dalam kajian tersebut, karakteristik kemiskinan multidimensi dalam empat tahun terakhir didominasi masalah sanitasi, air minum tidak layak, dan bahan bakar memasak. Termiskin Berdasarkan wilayahnya, penduduk miskin multidimensi tertinggi pada 2018 tertinggi terdapat di Papua sebesar 60,56 persen, Nusa Tenggara Timur sebesar 35,64 persen dan Papua Barat sebesar 32,66 persen. Sementara jumlah penduduk miskin multidimensi terendah pada tahun 2018 terdapat di Provinsi DKI Jakarta sebesar 2,17 persen, Yogyakarta sebesar 2,22 persen, dan Jawa Tengah 3,74 persen. Maftuchan menekankan, daerah-daerah yang masih banyak terdapat penduduk miskin harus tetap menjadi prioritas program ke depan.
“Pemerintah perlu mengadopsi metode pengukuran kemiskinan multidimensi agar mampu melihat titik-titik rawan kemiskinan sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan makin efektif,” kata Maftuchan. Peneliti ekonomi Perkumpulan Prakarsa Rahmanda M Thaariq mengatakan, ada perbedaan mendasar antara pengukuran kemiskinan moneter dengan IKM. Angka kemiskinan moneter hanya mengukur pendapatan dan konsumsi. “IKM mengukur dimensi yang lebih luas sehingga mampu memetakan akar kemiskinan melalui beberapa dimensi dan indikator yang mencerminkan kebutuhan dasar manusia sehingga dapat mendiagnosa problem kemiskinan lebih mendalam,” kata Rahmanda.
Sumber : ThePrakarsa.org