Jakarta, CNN Indonesia — Tingkat kemiskinan Indonesia pada tahun lalu dianggap terus membaik jika dilihat dari segi kualitas hidup. Hal itu merupakan kesimpulan dari survei lembaga penelitian Perkumpulan Prakarsa yang mengacu pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode 2015-2018.
Berbeda dengan data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menekankan pada tingkat pengeluaran masyarakat, survei yang dilakukan lembaga ini berkutat di tiga indikator kualitas hidup, yakni kesehatan, pendidikan, dan standar hidup. Oleh karena itu, perhitungan ini sejatinya mengukur kemiskinan multidimensi.
Peneliti Perkumpulan Prakarsa Muto Sagala mengatakan data kemiskinan BPS yang hanya menekankan tingkat pengeluaran masyarakat tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya. Adapun, BPS menggunakan sistem garis kemiskinan dengan nilai Rp410.670 per kapita per bulan untuk periode Maret hingga September 2018.
Namun terkadang, ada golongan masyarakat yang memang tidak miskin secara pendapatan, namun mereka kesulitan pada beberapa aspek mulai dari pendidikan, sanitasi, air minum layak, akses listrik, kondisi rumah, hingga bahan bakar untuk memasak. Utamanya bagi kelompok yang berada sedikit di atas garis kemiskinan.
“Selama ini tingkat kemiskinan dihitung secara moneter, tapi ini kurang mencerminkan wajah kemiskinan yang sebenarnya. Maka itu, kemiskinan ini harus dilihat secara multidimensi,” papar Muto, Kamis (11/4).
Dari hasil penelitian yang menggunakan tiga indikator tersebut, Perkumpulan Prakarsa menemukan bahwa tingkat kemiskinan multidimensi Indonesia pada 2018 ada di angka 8,17 persen dari populasi, atau sekitar 21,5 juta orang. Angka ini menurun dibanding tahun lalu yakni 24,9 juta orang, atau 9,56 persen dari populasi.
Bahkan, angka ini terbilang lebih baik dibandingkan angka kemiskinan secara pengeluaran yang dihitung BPS yakni 9,82 persen. Kemudian, tren kemiskinan multidimensi juga mengikuti tren kemiskinan BPS yang menurun, yang artinya ada perbaikan pendapatan dan kualitas hidup yang diterima masyarakat.
Muto menuturkan Indonesia mengalami perbaikan pada tingkat keberlanjutan sekolah, atau semakin banyak penduduk usia 6 hingga 18 tahun yang menikmati pendidikan. Kemudian, Indonesia juga mengalami perbaikan pada sumber penerangan, di mana semakin banyak orang mendapatkan akses listrik dari PT PLN (Persero).
Dari hasil penelitian tersebut, hanya 11 persen masyarakat miskin yang tak melanjutkan sekolah dan 16 persen dari masyarakat miskin yang belum mendapat penerangan.
Hal itu juga tak lepas dari kebijakan anggaran pemerintah seperti kenaikan anggaran pendidikan sebesar 7 persen tahun lalu dan jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10 juta keluarga atau naik dari tahun sebelumnya 7 juta keluarga.
Meski begitu, akses kesehatan yang belum layak bikin masyarakat Indonesia masih merasa kekurangan dari segi kualitas hidup. Tercatat, sebanyak 81 persen masyarakat miskin tak bisa mendapatkan akses air minum layak, dan 83 persen masyarakat miskin tak punya akses sanitasi yang memadai.
Muto menuturkan Indonesia mengalami perbaikan pada tingkat keberlanjutan sekolah, atau semakin banyak penduduk usia 6 hingga 18 tahun yang menikmati pendidikan. Kemudian, Indonesia juga mengalami perbaikan pada sumber penerangan, di mana semakin banyak orang mendapatkan akses listrik dari PT PLN (Persero).
Dari hasil penelitian tersebut, hanya 11 persen masyarakat miskin yang tak melanjutkan sekolah dan 16 persen dari masyarakat miskin yang belum mendapat penerangan.
Hal itu juga tak lepas dari kebijakan anggaran pemerintah seperti kenaikan anggaran pendidikan sebesar 7 persen tahun lalu dan jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 10 juta keluarga atau naik dari tahun sebelumnya 7 juta keluarga.
Meski begitu, akses kesehatan yang belum layak bikin masyarakat Indonesia masih merasa kekurangan dari segi kualitas hidup. Tercatat, sebanyak 81 persen masyarakat miskin tak bisa mendapatkan akses air minum layak, dan 83 persen masyarakat miskin tak punya akses sanitasi yang memadai.
Sumber : ThePrakarsa.org