JAKARTA, KOMPAS — Selama sembilan tahun, pada periode tahun 2012-2021, tren angka kemiskinan multidimensi di Indonesia mengalami penurunan dari 49 persen pada tahun 2012 menjadi 14,3 persen pada tahun 2021. Penurunan jumlah penduduk miskin multidimensi sekitar 80 juta jiwa, dari 120,1 juta jiwa pada tahun 2012 menjadi 38,95 juta jiwa pada tahun 2021.
Tren angka kemiskinan multidimensi tersebut ditemukan Lembaga Riset dan Advokasi Kebijakan Publik The Prakarsa ketika melakukan pengukuran Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) Indonesia 2012-2021.
Dari pengukuran tersebut, persentase jumlah penduduk miskin (JPM) di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Pada tahun 2021, JPM di wilayah kota tersisa seperempat dari angka tahun 2012, sedangkan JPM di wilayah desa tersisa sepertiga dari angka tahun 2012.
”Rumah layak, air minum layak, dan bahan bakar memasak menjadi masalah utama kemiskinan multidimensi di perdesaan. Sementara di perkotaan, rumah layak, morbiditas, dan air minum layak yang menjadi masalah utama kemiskinan multidimensi,” papar Victoria Fanggidae, Deputi Direktur The Prakarsa, pada Peluncuran Laporan IKM di Indonesia 2012-2021, Rabu (9/8/2023), di Jakarta.
Laporan IKM Indonesia 2012-2021 menemukan, semakin ke timur, IKM semakin tinggi. Victoria memaparkan, IKM semakin tinggi karena persentase penduduk miskin multidimensi dan intensitas kemiskinan semakin tinggi.
Adapun pengukuran IKM dilakukan The Prakarsa untuk memotret kondisi kemiskinan secara holistik tanpa menghilangkan kemiskinan moneter. Hal ini untuk memberikan pandangan yang lebih terukur dalam segala aspek untuk mengurangi kemiskinan.
Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan menyatakan, ada sejumlah alasan mengapa The Prakarsa melakukan pengukuran atau penghitungan IKM Indonesia. Pertama, keberadaan IKM akan memberikan penjelasan yang mendalam tentang ”bagaimana dan dalam konteks apa seseorang menjadi miskin”.
Kantong kemiskinan ini berhubungan dengan bagaimana penyediaan rumah layaknya, sanitasi, kebutuhan air bersih, dan seterusnya.
”Dengan IKM, kita akan lebih hati-hati dan mendalam dalam memandang dan mengukur kemiskinan. Harapannya, kita akan menemukan variasi-variasi yang memengaruhi konversi pendapatan untuk kehidupan yang lebih baik,” kata Maftuchan.
Alasan kedua, dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), tujuan pertamanya adalah menghapus kemiskinan dalam segala bentuknya. Oleh sebab itu, semua pihak perlu mendorong agar ada indikator dan alat ukur yang dapat menjadi panduan pencapaian SDGs,
”Kami yakin jika kita menggunakan IKM sebagai salah satu alat ukurnya, maka agenda penghapusan kemiskinan dalam segala bentuknya akan dapat dicapai pada tahun 2030,” katanya.
Adapun alasan ketiga, laporan IKM merupakan bagian dari promosi agar Pemerintah Indonesia segera mengadopsi IKM sebagai salah satu pelengkap metode pengukuran kemiskinan resmi yang telah ada saat ini.
Strategi penghapusan kemiskinan
Pada peluncuran tersebut hadir perwakilan kementerian/lembaga yang memberikan tanggapan atas Laporan IKM Indonesia 2012-2021. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Nunung Nuryantono menyambut baik laporan IKM tersebut.
Menurut Nunung, ada tiga strategi besar dalam upaya pencapaian dan penghapusan kemiskinan ekstrem nol persen. Pertama, pengurangan beban. Pengurangan beban tersebut dilakukan oleh kementerian/lembaga melalui program yang bersifat bantuan sosial di bidang kesehatan, pendidikan, dan juga dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan pangan.
Kedua, peningkatan pendapatan masyarakat. Hal itu menjadi bagian dari upaya untuk memberdayakan masyarakat dengan memberikan aktivitas-aktivitas ekonomi yang sekaligus juga menciptakan lapangan pekerjaan. Ketiga, melalui pengurangan kantong kemiskinan.
”Jadi, pengurangan kantong kemiskinan melihat bahwa aspek-aspek kemiskinan tidak sebatas pada berapa pendapatan dan seterusnya, tetapi kantong kemiskinan ini berhubungan dengan bagaimana penyediaan rumah layaknya, sanitasi, kebutuhan air bersih, dan seterusnya,” paparnya.
Nunung meyakini, penerapan tiga strategi tersebut akan dapat menghapuskan kemiskinan ekstrem utamanya dan kemiskinan secara keseluruhan. Namun, dalam penerapannya, intervensi tersebut harus dipastikan tepat sasaran dan terpadu antarprogram serta melibatkan sinergi multipihak antara pemerintah pusat hingga desa dan lembaga-lembaga terkait.
Adapun Kunta Wibawa, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, mengungkapkan, tantangan pemerataan akses layanan kesehatan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) di Indonesia antara lain penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung, khususnya daerah yang susah/belum terjangkau listrik dan internet stabil. Selain itu, dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas dan insentif tambahan bagi tenaga kesehatan.
Hadir juga memberikan tanggapan atas laporan tersebut Nurma Midayanti, Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik, dan Theresia Florensia, Kepala Bidang Perekonomian Bappelitbangda Nusa Tenggara Timur.
Theresia mengatakan, salah satu strategi mengatasi kemiskinan di NTT adalah dengan pembangunan pariwisata. Pariwisata dipilih karena memberikan dampak yang besar bagi masyarakat.