Kondisi Terkini Sektor Sawit: Untuk Pembangunan yang lebih Berkeadilan  

Jakarta, The PRAKARSA – The PRAKARSA lembaga penelitian dan advokasi kebijakan, pada Jumat (20/10) berkesempatan untuk sharing pengetahuan kepada Transparency International Indonesia (TII) mengenai kondisi terkini sektor sawit di Indonesia berdasarkan hasil penelitian The PRAKARSA.  

Saat ini, TII sedang melakukan kajian awal sebagai persiapan untuk melakukan penelitian pada komoditas kelapa sawit. 

Pada kesempatan tersebut, Research and Knowlede Manager The PRAKARSA, Eka Afrina membagikan hasil penelitian mengenai IFF komoditas minyak sawit di mana minyak sawit merupakan salah satu komoditas unggulan dari Indonesia dan memiliki kontribusi ekspor tertinggi di sektor manufaktur di tahun 2017. “Hasil penelitian menunjukan bahwa minyak sawit adalah komoditas dengan aliran keuangan gelap tertinggi dibandingkan 6 komoditas lainnya yang diteliti yakni batu bara, karet, tembaga, udang-udangan dan kopi,” jelas Eka. 

Penelitian selanjutnya mengenai pelanggaran hak buruh perkebunan sawit di Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Eka menyampaikan bahwa hasil penelitian menemukan terdapat beberapa pelanggaran terhadap hak buruh seperti hak-hak yang menyangkut isu kepastian kerja (job security), upah layak (decent wage), kerja paksa (force labor), keselamatan dan kesehatan kerja (K3), diskriminasi gender, buruh anak (child labour), dan jaminan sosial (social security) terjadi di lapangan. “Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kerja layak (decent work) tersebut mengartikan bahwa mekanisme asesmen dalam RSPO/ISPO belum efektif melindungi buruh sebagai aktor esensial dalam proses produksi di perkebunan sawit,” tutur Eka. 

The PRAKARSA juga telah memiliki penelitian mengenai ketimpangan relasi petani inti-plasma dan perusahaan sawit di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian menyoroti paling tidak terdapat beberapa ketidakadilan prosedural antara perusahaan terhadap petani seperti komunikasi asimetri dan tidak transparan, keputusan perusahaan tidak diketahui dan dipahami petani, petani terikat hutang atas lahan plasma yang dikelola, dokumen legal dikuasai perusahan dan penghitungan bagi hasil yang tidak transparan.  “Masih terdapat berbagai celah untuk diteliti lebih lanjut, terutama bagaimana mendorong keberpihakan kebijakan terhadap pemenuhan hak-hak buruh atau masyarakat sekitar perkebunan. Kami berharap penelitian yang akan dilakukan kedepan dapat mendorong pembangunan yang lebih berkeadilan,” tutup Eka.

Kami menggunakan cookie untuk memberikan Anda pengalaman terbaik.